Sepertinya bulan Safar hampir berakhir. Orang-orang di Jawa, Sunda, dan Madura telah melakukan tradisi ini sejak lama. Muslim Indonesia biasanya melakukan ritual Rebo Wekasan, hari Rabu terakhir di bulan Safar, dengan melakukan shalat sunnah, berdoa dengan doa-doa khusus, melakukan selamatan, bersedekah, bersilaturahim, dan berbuat baik kepada orang lain. Semua ini dilakukan untuk memohon kepada Allah SWT agar mereka dilindungi dari segala jenis malapetaka dan tantangan.
Tradisi ini berasal dari anjuran yang dibuat oleh Syekh Ahmad bin Umar Ad-Dairabi (w. 1151 H) dalam kitabnya yang disebut Fathul Malik al-Majid al-Muallaf li Naf’il ‘Abid wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid. Mujarrabat ad-Dairabi adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan asal-usulnya. Menurut kitab ini, pada hari Rabu terakhir bulan Safar, akan ada sekitar 300 ribu bala’ dan bencana:
فَائِدَةٌ) ذَكَرَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ مِنْ أَهْلِ الْكَشْفِ وَالتَّمْكِينِ أَنَّهُ يَنْزِلُ فِي كُلِّ سَنَةٍ ثَلَاثُمِائَةٍ وَعِشْرُونَ أَلْفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ، وَكُلُّ ذَلِكَ فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِيرِ مِنْ شَهْرِ صَفَرٍ، فَيَكُونُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبَ أَيَّامِ السَّنَةِ كُلِّهَا)
Artinya: “(Faedah), ‘Sebagian orang arif dari kalangan ahli kasyf (penyingkapan) dan tamkin (keteguhan rohani) menyebutkan bahwa setiap tahun turun 320 ribu bencana, dan semuanya turun pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Maka hari itu menjadi hari yang paling berat di sepanjang tahun”. (ad-Dairabi, Mujarrabat ad-Dairabi, [Beirut: Maktabah Tsaqafiyyah, tt.] h. 79).
Oleh karena itu, umat Islam yang berkumpul hari Rabu ini dianjurkan oleh Imam ad-Dairabi untuk melakukan shalat sunnah empat rakaat untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT dari semua bala’, bencana, dan musibah, seperti yang disebutkan di bawah ini:
فَمَنْ صَلَّى فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ سُورَةَ: {إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ} سَبْعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَ {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} خَمْسَ مَرَّاتٍ، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّةً، وَيَدْعُو مَرَّةً بَعْدَ السَّلَامِ بِهَذَا الدُّعَاءِ: حَفِظَهُ اللهُ بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيعِ الْبَلَايَا الَّتِي تَنْزِلُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَلَمْ يَحُمْ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلَايَا إِلَى تَمَامِ السَّنَةِ.
Artinya: “Barang siapa yang pada hari itu melaksanakan shalat empat rakaat, yang dalam setiap rakaatnya setelah al-Fatihah membaca surat al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat al-Ikhlas sebanyak 5 kali, surat al-Mu‘awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas) masing-masing sekali, lalu berdoa sekali setelah salam dengan doa berikut, maka Allah akan menjaganya dengan karunia-Nya dari segala bencana yang turun pada hari itu, serta tidak akan mendekatinya satu pun bencana dari bencana-bencana tersebut sampai akhir tahun”. (ad-Dairabi, Mujarrabat ad-Dairabi, [Beirut: Maktabah Tsaqafiyyah, tt.] halaman. 79).
Salah satu doa yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اللَّهُمَّ يَا شَدِيدَ الْقُوَى، وَيَا شَدِيدَ الْمِحَالِ، يَا عَزِيزُ، يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيعُ خَلْقِكَ، اكْفِنِي مِنْ شَرِّ جَمِيعِ خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ، يَا مُجْمِلُ، يَا مُتَفَضِّلُ، يَا مُنْعِمُ، يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، ارْحَمْنِي بِرَحْمَتِكَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.
اللَّهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيهِ، وَجَدِّهِ وَأَبِيهِ، وَأُمِّهِ وَبَنِيهَا، اكْفِنِي شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيهِ، يَا كَافِي الْمُهِمَّاتِ، يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ، ﴿فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾، وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
(Bismillahirrahmanirrahim) Allahumma ya syadidal quwa, wa ya syadidal mihal, ya ‘azizu, ya man dzallat li ‘izzatika jami‘u khalqika, ikfini min syarri jami‘i khalqika. Ya muhsinu, ya mujmil, ya mutafadhdhil, ya mun‘im, ya mutakarrim, ya man la ilaha illa anta, irhamni birahmatika, ya arhamar rahimin.
Allahumma bisirril Hasan wa akhihi, wa jaddihi wa abihi, wa ummihi wa baniha, ikfini syarra hadzal yaum wa ma yanzilu fihi, ya kafiyal muhimmat, ya dafi‘al baliyat. Fasayakfikahumullahu wahuwa as-sami‘ul ‘alim. Hasbunallahu wa ni‘mal wakil, wa la haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim. Wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Artinya: “(Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) Ya Allah, wahai Yang Maha Kuat, wahai Yang Maha Dahsyat dalam melakukan pembalasan, wahai Yang Maha Perkasa, wahai Dzat yang seluruh makhluk tunduk kepada kemuliaan-Mu, lindungilah aku dari kejahatan seluruh makhluk-Mu. Wahai Pemberi kebaikan, wahai Pemberi keindahan, wahai Yang Maha Pemurah, wahai Yang Maha Pemberi nikmat, wahai Yang Maha Pemulia, wahai Dzat yang tiada Tuhan selain Engkau, kasihanilah aku dengan rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.
Ya Allah, dengan rahasia al-Hasan dan saudaranya, kakeknya dan ayahnya, ibunya dan anak-anaknya, lindungilah aku dari kejahatan hari ini dan apa yang turun padanya. Wahai Yang Mencukupi segala urusan penting, wahai Yang Menolak segala bencana, “Maka Allah akan melindungimu dari mereka, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan sebaik-baik pelindung. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dan semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya.”
Tata Cara dan Niat Shalat Rebo Wekasan
Yang perlu diperhatikan adalah cara melakukan shalat ini. Karena tidak ada nash sharih yang menjelaskan mengapa shalat Rebo Wekasan harus dilakukan. Akibatnya, jika shalat Rebo Wekasan diniati dengan cara tertentu, seperti dengan mengatakan, “Aku niat shalat Safar” atau “Aku niat shalat Rebo Wekasan”, itu tidak sah dan haram.
Selain itu, para ulama mengharamkan shalat-shalat seperti Raghaib di awal Jumat bulan Rajab, nisfu Sya’ban, Asyura, dan kafarat di akhir bulan Ramadhan karena tidak memiliki dasar hadits yang kuat. Namun, beberapa ulama memberikan izin untuk melakukan shalat sunnah pada hari Rabu terakhir bulan Safar ini, asalkan dianggap sebagai shalat sunnah mutlak. Menurut Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki dalam kitab Kanzun Naja was Surur,
قُلتُ: وَمِثْلُهُ صَلَاةُ صَفَرٍ، فَمَنْ أَرَادَ الصَّلَاةَ فِي وَقْتِ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى، مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ، وَهُوَ مَا لَا يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ، وَلَا سَبَبٍ، وَلَا حَصْرَ لَهُ. اِنْتَهَى
Artinya: “Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Safar (Rebo Wekasan), maka barang siapa menghendaki shalat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati shalat sunnah mutlak dengan sendirian (bukan berjamaah) tanpa bilangan rakaat tertentu. Shalat sunnah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya”. (Syekh Abdul Hamid Muhammad Ali, Kanzun Naja was Surur fi Ad’iyyati Tasyrahus Shudur, [Beirut, Darul Hawi: 2009 M/1430 H], halaman 90).
Ini menunjukkan bahwa meniatkan shalat-shalat tersebut dengan niat shalat sunnah mutlak adalah cara untuk membolehkan shalat-shalat yang dianggap haram oleh para fuqaha. Ini adalah penjelasan singkat tentang sejarah dan tindakan yang dapat dilakukan umat Islam pada hari Rabu terakhir bulan Safar atau Rebo Wekasan. Perbedaan pendapat ulama di atas bermanfaat bagi umat karena memungkinkan mereka menjalankan ritual agama tanpa keluar dari batas syariat. Wallahu a’lam.











