Amin syukur adalah salah satu pendidik yang menekuni bidang tasawuf dan masalah–masalah yang berkaitan dengannya. Beliau guru besar tasawuf di Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang. Dilahirkan dari pasangan H. Abdus Syukur dan Hj. Umi Kulsum pada 17 Juli 1952 di dukuh Kalimati, Desa Kalirejo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik Jawa Timur.
Sejak kecil, beliau hidup dalam keluarga yang memiliki ketaatan dan perhatian yang tinggi pada agama. Amin merasa sangat beruntung dan bersyukur sejak kecil telah mendapatkan bimbingan dan teladan dari orang tuanya, mereka mendedikasikan hidupnya untuk ibadah dan amal solih.
Seiring berjalannya waktu, keshalihan yang di bangun sedari kecil semakin mengakar kuat di dalam dirinya. Saat menginjak umur 7-13 tahun disela aktivitasnya mengaji, beliau berusaha semampunya untuk meringankan beban orang tuanya, seperti membantu menjaga warung, bekerja di tambak, serta mengasuh adik-adiknya.
Beliau tumbuh di lingkungan pesantren yang sangat berperan dalam mengembangkan potensi intelektual dan jiwa sosialnya. Ketika usianya semakin dewasa, saat berusia 26 tahun beliau mulai mendedikasikan hidupnya di dunia pendidikan. Dua tahun kemudian, tepatnya pada usia 28 tahun beliau mempersunting wanita shalihah bernama Fathimah Utsman. Dari pernikahan tersebut mereka berdua dikaruniai dua orang anak, yang pertama lahir pada tahun 1981 bernama Ratih Rizqi Nirwana dan yang kedua bernama Nugraheni Itsnal Muna yang lahir pada tahun 1986.
Memasuki usia 30 tahun, beliau mulai aktif di dunia dakwah dan istiqomah membimbing masyarakat hingga beliau tutup usia. Beliau mendirikan Yayasan al-Muhsinun, menjadi pembina di YPI Nasima dan PAPB, serta aktif di berbagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial keagamaan. Di akhir hayatnya beliau meninggalkan pondok pesantren Progresif Fathimah al-Amin yang beralamat di Perum BPI Ngaliyan Semarang.
Perjalanan Keilmuan
Riwayat pendidikan Amin Syukur bermula dari ikut mondok bersama kakaknya di Ponpes al-Karimi. Namun hanya satu tahun beliau di pondok tersebut, karena pada saat itu kakaknya telah selesai dalam pendidikannya di pondok, sehingga orang tuanya merasa tidak tega jika beliau tinggal sendiri di pondok tanpa kakaknya, maka beliau ikut pulang. Namun tidak lama dari sepulangnya beliau dari pesantren tersebut, beliau melanjutkan belajarnya ke pondok pesantren Ihyaul Ulum yang berada di Dukun Gresik.
Selama menimba ilmu di pondok yang di asuh oleh K.H Ma’shum ini beliau tidak menjadi santri mukim. Beliau pulang pergi dari rumah ke pondoknya dengan berjalan kaki atau sesekali menggunakan sepeda onthel. Beliau mengenyam pendidikan di pesantren ini mulai dari tahun 1961 hingga 1966. Di pondok ini beliau mendapatkan ilmu Nahwu, Sharaf, Tauhid, Fiqh, Akhlak, Tarikh, Tafsir dan hadits. Selain ilmu-ilmu agama beliau juga mendapatkan ilmu umum seperti Ilmu Alam, Ilmu Bumi, dan Ilmu Hayat.
Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren Darul Ulum Jombang, yang diasuh oleh K.H Musta’in Romli. Di pesantren ini, beliau mulai mengenyam pendidikan formal dimulai dengan masuk Sekolah Menengah Pertama (SMPDU) pada 1969, lalu dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Atas (SMADU) pada 1972. Di tingkat SMA ini beliau aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
Amin Syukur melanjutkan studinya ke jenjang universitas yang masih satu almamater dengan pondoknya yaitu Universitas Darul Ulum (UNDAR). Beliau masuk di Fakultas Alim Ulama (FAU), yang sekarang menjadi Fakultas Ushuluddin. Sebagai aktivis kampus beliau mendapat amanah sebagai ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran di Dewan Mahasiswa dan menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UNDAR. Beliau juga aktif dalam organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur. Gelar sarjana Muda diselesaikannya selama 3,5 tahun.
Pada tahun 1977 Amin Syukur melanjutkan kuliah ke tingkat doktoral di Fakultas Ushuluddin di IAIN Walisongo Semarang dan selesai dalam kurun waktu 2,5 tahun. Pada tahun 1982 beliau diangkat menjadi Tenaga Edukatif, Asisten Ahli Madya. Pada 18 Agustus 1996 beliau dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang keilmuwan Tasawuf. Beliau menekuni pekerjaannya sebagai pengajar hingga beliau wafat.
Di masyarakat beliau aktif di berbagai organisasi seperti MDI (Majelis dakwah Islamiyah), ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), dan organisasi lainnya. Sebagai dosen muda beliau sangat tertarik meneliti bidang tasawuf, Amin Syukur termasuk orang yang aktif menulis dan sangat produktif.
Praktik Spiritual
Ratih Rizki Nirwana menceritakan, selepas menunaikan ibadah haji yang kedua beliau jatuh sakit. Di tengah malam beliau kejang hebat lalu dibawa istrinya ke rumah sakit. Beliau didiagnosa dokter menderita sakit kanker. Dalam kondisi sakit tersebut minatnya ke dalam pengamalan ilmu tasawuf semakin bertambah. Beliau sudah menekuni dzikir sedari dulu, setelah beliau sakit beliau mulai belajar prana, hipnoterapi, dan teknik terapi lainnya. Beliau mengupayakan kesembuhan dari sakit kanker yang dideritanya melalui pengobatan secara medis yang di kombinasikan dengan berbagai macam teknik healing dan dzikir yang beliau ramu sendiri.
Amin Syukur di terpa dua kali sakit keras, yaitu kanker otak dan nasofaring. Beliau divonis akan lumpuh, tidak bisa berbicara, hingga usianya tinggal tiga bulan. Ternyata beliau berhasil survive dari penyakit kanker ganas tersebut. Setelah berhasil sembuh, beliau senang bisa berbagi pengalamannya dalam berjuang menghadapi kanker melalui ceramah dan menulis buku. Beliau juga sering menjenguk kawan yang sedang sakit, mendoakan dan memberikan motivasi kepada pasien agar tetap semangat. Beliau sangat menikmati sekali aktivitas positif seperti ini. Beliau orang yang sangat bersemangat dan yakin bahwa dengan berobat, dzikir, dan berserah maka semua penyakit dapat disembuhkan.
Amin Syukur bersama Fathimah Utsman dan timworknya mendirikan Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA). Melalui lembaga ini dipraktikkan dan diajarkan penghayatan dzikir kepada masyarakat dalam format Dzikir Terapi Hati, Pelatihan Seni Menata Hati, dan Pelatihan Shalat Khusyu’. Fathimah Utsman wanita yang multi talenta dan sangat pandai dalam mengadu-aduk emosi jamaah, sehingga membuat pelatihan dzikir yang di bawakan oleh Amin Syukur menjadi lebih khusyu’ dan berkesan sangat mendalam.
Neo-Sufisme
Di bidang intelektualitas, Karya-karya Prof. Amin Syukur menjadi sumber rujukan pemikiran keislaman. Sebagian Buku beliau yang telah beredar sebagai berikut:
- Zuhud di Abad Modern, tahun 1997
- Tasawuf dan Krisis, 2001
- Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al Ghazali, 2002
- Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern, 2003
- Tasawuf Sosial, 2004
- Studi Akhlak, 2010
- Pengantar Studi Islam, 2010
Masih banyak lagi buku-buku lainnya seperti: Dzikir Terapi Hati, Dzikir menyembuhkan kankerku, Sufi Healing, Dari Hati ke Hati, Shalatku Ketundukanku. Karya Amin Syukur berangkat dari keprihatinan beliau dengan kondisi umat islam di zaman sekarang. Beliau memberikan alternatif melalui tulisannya agar tasawuf bisa menjalankan peran fungsional dan menjadi solusi dalam kehidupan.
Secara essensial tasawuf mempunyai ajaran sosial, seperti al-futuwwah (sikap kepahlawanan) dan al-itsar (sikap mementingkan orang lain), namun selama ini masih bersifat pasif dan terkadang sebatas sikap atau kesalehan individu saja, belum sampai pada tingkatan kesalehan sosial. Hal ini merupakan ekses dari pemahaman yang tidak kontekstual terhadap ajaran tasawuf. Tanggung jawab sosial tasawuf pada masa sekarang menuntut sikap aktif dalam memecahkan semua problema kehidupan modern, seperti kehampaan spiritual, dekadensi moral, persoalan politik, pluralisme (khususnya pluralisme agama), dan tanggung jawab intelektual.
Berkaitan dengan hal ini, Amin Syukur memformulasikan pemikirannya tentang zuhud di abad modern, tasawuf sosial, dan tasawuf kontekstual. Yakni sikap positif terhadap dunia dan menghendaki tasawuf yang aktif, terbuka, empiris, membumi, fungsional dalam merespon modernitas. Tasawuf yang di kembangkan oleh Amin syukur di zaman post-modern ini yang memunculkan prototipe sufi-sufi yang memiliki ciri-ciri intelektual, modern, dan progresif. Mereka hadir memberikan manfaat kepada masyarakat dan menyampaikan ajaran islam yang memiliki semangat humanisme dan transendental.













