Konsep politik dalam negara yang ada di dunia ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain. Adapun konsep politik yang negara kita anut adalah demokrasi, kewarganegaraan dan sikap nasionalis dari sudut pandang yang netral. Namun pada kenyataanya konsep-konsep itu sangatlah bias gender, terkadang memihak dan merugikan satu gender sehingga menimbulkan diskriminasi. Sejatinya pengambilan keputusan negara ini dengan melibatkan laki-laki dan perempuan merupakan sebuah sin qua non di dalam demokrasi.
Jumlah perempuan di parlemen berbeda-beda di setiap negara, akan tetapi secara umum, posisi perempuan di parlemen masih sangat kurang dibandingkan dengan laki-laki. Beberapa negara sudah memperlihatkan peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik, seperti di Swedia, Rwanda, Bolivia, dan Kuba yang memiliki persentase perempuan di parlemen lebih dari 40%. Namun, di negara-negara lain, jumlahnya masih rendah, seperti di Indonesia yang hanya memiliki sekitar 20% perempuan di DPR. Penting untuk memperjuangkan keadilan gender di dalam politik dan meningkatkan representasi perempuan di parlemen.
Di masa sekarang ini sedang ramai sekali para aktivis dunia dalam mendorong perempuan agar terjun langsung ke dalam parlemen. Mereka menggaungkan pengarusutamaan gender ataupun kesetaraan gender. Melalui keterlibatan perempuan di dalam parlemen diharapan mereka bisa mewakili suara para perempuan lainnya. Sebuah progres dari PBB pada tahun 1995 secara khusus menganalisa masalah gender dan pembangunan di 174 negara antara lain menyatakan:
“Walaupun memang benar tidak ada kaitan langsung antara tingkat partisipasi perempuan di lembaga-lembaga politik dengan kontribusi mereka terhadap kemajuan kaum perempuan, namun tingkat keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di lembaga-lembaga politik dapat dipandang sebagai sesuatu yang amat penting untuk menjamin agar kaum perempuan memiliki pengaruh yang bermakna dalam proses politik.”[1]
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kuota perempuan di parlemen hanya 30%. Angka tersebut menunjukkan terdapat ketimpangan antara partisipasi laki-laki dan perempuan dalam politik. Keberadaan sistem kuota ini hanyalah cara untuk memastikan kepentingan politik perempuan terartikulasi dan terwakili. Seruan untuk kuota bagi perempuan adalah merupakan isu yang lebih luas dan lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam politik. Mungkin pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan begitu pentingkah politik bagi perempuan? Jawabannya adalah “iya, tentu saja!, Jumlah perempuan mayoritas di negeri ini, tetapi masih banyak hak-hak perempuan yang belum diperoleh secara layak dan sering dikesampingkan dalam pengambilan kebijakan.
Peran perempuan Indonesia dalam parlemen sangat rendah, menurut data World Bank (2019), Indonesia menempati urutan ke-7 se-Asia Tenggara dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen. Kurangnya partisipasi dari perempuan dalam politik, khususnya di negeri tercinta ini, mengakibatkan kurangnya tanggapan konstruktif terhadap isu-isu politik terkait kesetaraan gender dan gagal menjawab isu-isu utama yang dihadapi perempuan. Lebih miris lagi dari 30 persen kuota perempuan itu, Indonesia belum bisa mencapainya. Presiden harus bisa membuat rancangan peraturan Presiden tentang ‘Grand Design’. Tujuan dari ‘Grand Design’ adalah untuk meningkatkan kualitas perempuan agar bisa berperan dalam pengambilan keputusan di parlemen. Hal ini bisa mempercepat pencapaian kesetaraan gender, seperti yang digaungkan dan dituntut oleh para aktivis gender di seluruh dunia.
Tentunya dengan rendahnya partisipasi perempuan dalam parlemen menjadi sebuah problematik yang harus diselesaikan guna terwujudnya keputusan-keputusan negara yang berkeadilan gender. Mungkin masih sedikit kaum perempuan yang sadar akan kedudukannya dalam dunia masyarakat, padahal sudah jelas tertera dalam surat at-Taubat ayat 71;
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[2]
Mungkin kita perlu menjadikan revolusi di Rusia sebagai roll model. Seperti yang diceritakan oleh Troztky dalam buku Sarinah, di buku tersebut diceritakan bagaimana kaum perempuan sangat berperan dalam revolusi negaranya.
Jika kita tengok historis negara ini beberapa tahun silam, telah terbukti bahwa presiden Indonesia pada tahun 2001-2004 berhasil di pegang oleh perempuan, yaitu ibu Megawati Soekarno Putri. Seharusnya keberhasilan tampilnya seorang presiden perempuan bisa menjadi sebuah inspirasi dan motivasi agar perempuan di negara ini memiliki semangat juang yang tinggi untuk dapat turut andil ke dalam parlemen.
Terbukti, budaya patriarki di negeri ini masih sangat kuat, bisa kita lihat ketika ibu Megawati menjabat presiden masih cukup banyak penolakan di dalamnya. Jika kita masih terus memelihara pola pikir patriarki, misalnya: dengan berasumsi bahwa perempuan tidak cocok memimpin negara karena sering mengandalkan perasaan; tugas wanita itu cukup mengurusi sumur, Kasur, dan dapur saja, dan lain sebagainya. Maka kapan akan maju negara ini, jika masyarakatnya masih memiliki mindset seperti itu. Seharusnya dalam Upaya bersama mewujudkan kemajuan negara tidak melihat pada jenis gender tapi berdasarkan pada kemampuannya. Maka jika ada perempuan yang lebih mampu daripada laki-laki dalam memegang suatu urusan kepemimpinan, kenapa tidak?…
Simpulan Saya, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rendahnya kuota perempuan di parlemen Indonesia, yaitu:
- Budaya patriarki masih sangat kuat dan peran wanita sering dianggap sebagai pengasuh anak dan pengurus rumah tangga.
- Rendahnya tingkat pendidikan dan partisipasi politik perempuan. Meskipun tidak sedikit perempuan memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan laki-laki, namun masih banyak wanita yang kurang memperhitungkan politik sebagai pilihan karirnya. Mereka juga enggan untuk turut berpartisipasi dalam proses dan kontestasi politik.
- Laki-laki sangat dominan dalam pengambilan keputusan, maka kebijakan yang dibuat juga lebih cenderung mendukung kepentingan kaum laki-laki.
- Meskipun sudah ada kuota perempuan dalam pemilihan legislatif, namun jumlahnya masih kurang signifikan sehingga tidak bisa memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.
5. Partai politik masih jarang memberikan dukungan yang cukup pada perempuan yang ingin terjun ke dunia politik. Partai-partai sangat kurang dalam memberikan pelatihan ataau akses pada dana kampanye yang cukup agar perempuan bisa terpilih menjadi wakil masyarakat di parlemen.
[1]Azza Karam, Perempuan di Parlemen; Bukan Sekedar Jumlah, Akmal Syams, (Jakarta, AMEEPRO, 2002), hlm.2.
[2] Tafsir Q, Al Qur’an Q.S At Taubah/9:71. Surat At-Taubah Ayat 71 | Tafsirq.com