Indonesia adalah salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi tersebut tidak lepas dari peran ulama-ulama terdahulu yang giat menyebarkan agama Islam. Di antara ulama-ulama tersebut ada satu sosok ulama yang luar biasa, yaitu Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan sosok ulama multi dimensional dengan latar belakang pendidikan pesantren. Nama beliau sudah sangat di kenal baik di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan Islam di seluruh penjuru dunia. Melalui karya-karya dan pemikirannya yang monumental, beliau telah memberikan pengaruh dalam berbagai bidang keilmuan meliputi bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah Nabi serta bahasa dan retorika.
Karya-karya beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kemajuan Islam di Indonesia, dan sampai sekarang, karya-karya Syekh Nawawi masih terus dikaji dan diajarkan sehingga memberikan pengetahuan tentang ajaran Islam yang menyejukkan. Syekh Imam Nawawi Al-Bantani adalah ulama yang sangat terkenal, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Makkah. Syekh Nawawi telah mensyarah beberapa kitab dalam bidang teologi atau ilmu tauhid karya ulama ahl al-sunnah wa al-jama’ah dari mazhab empat, kecuali mazhab Hambali. Diantaranya kitab tijan al-Darariy, syarah dari kitab Risalah Ibrahim al-Bajuriy dan kitab Fathul al-Majid ulasan atas Durr al-Farid fi’Ilm al- Tauhid karya Ahmad al-Nahrawi, guru Syaikh Nawawi.
Usaha pensyarahan ini menunjukan bahwa Syekh Nawawi sudah mengadakan pendekatan pada faham-faham ulama dari berbagai mazhab, kecuali dari mazhab Hambali. Walaupun mazhab-mazhab fiqih ini masih dalam satu alur dalam aspek teologis, yaitu ahl al-sunnah wa al-jamaa’ah, namun tentunya ada varian perbedaan diantara mereka. Hanya sampai di mana pengaruh faham-faham kalam tersebut terhadap kitab-kitab karangannya, menurut penulis, kitab-kitab yang dibuat oleh Syekh Nawawi al-Bantani mudah dipahami oleh orang-orang yang mempelajarinya, dikalangan santri, siswa, dan mahasiswa (semua kalangan) karena pembahasannya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan pelajar, dan meskipun kitab-kitabnya ditulis dengan bahasa Arab tidak menjadi penghalang bagi berbagai kalangan tersebut untuk memahaminya.
Syekh Nawawi Banten mengenyam pendidikan di Timur Tengah dalam waktu sangat lama antara tahun 1830-1860. Di sana, ia belajar pada guru-guru ternama. Pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat QodiriyahNaqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa Syekh Nawawi Banten pernah belajar kitab Iḥyā’ Ulūm ad-Dīn karya al-Ghazali kepada as-Sambasi. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan di Mekah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar, seperti dikutip Zamakhsyari Dhofier, sebagian guru utamanya pun berasal dari Mesir, yaitu Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi. Sri Mulyati menyebut kedua orang guru berkebangsaan Mesir inilah guru sebenarnya dari Syekh Nawawi Banten, selain Abdul Hamid Daghastani.
Sebelum ke Timur Tengah ia berguru ke beberapa pesantren di Jawa Barat sampai kurang lebih 9 tahun lamanya. Jadi, ia menghabiskan waktu sekitar 39 tahun untuk menuntut ilmu. Masa studi yang begitu panjang menjadikannya seorang ‘alim terkemuka. Ia menguasai sebagian besar cabang ilmu keislaman. Sejak masih di Indonesia ia telah menunjukkan bakat akademik yang sangat cemerlang, sehingga menarik perhatian orang banyak. Berbekal ilmu yang sangat luas itu, Syekh Nawawi Banten kemudian menjadi guru yang sangat disegani. Muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Namun, kebanyakan dari mereka adalah para pelajar asal Melayu. Puncak kariernya sebagai seorang guru ia raih tatkala ia dipercaya mengajar di Masjidil Haram. Setiap ia mengajar, murid-murid yang mengikuti perkuliahannya tidak kurang dari 200 orang. Masjidil Haram pada saat itu adalah satu-satunya perguruan tinggi di Makkah. Di ma’had Nasyr al-Ma’ārif ad-Dīniyah yang berada di komplek Masjidil Haram, ia terkenal sebagai guru yang baik hati, mampu menjelaskan pelajaran secara baik dan mendalam, dan berkomunikasi secara baik dengan para muridnya.
Setelah mengajar di Masjidil Haram selama sepuluh tahun (1860-1870), akhirnya pada tahun 1870 ia memilih istirahat. Ia lebih berkonsentrasi untuk menulis kitab. Namun demikian, bukan berarti ia berhenti mengajar, sebab mengajar baginya merupakan kewajiban agama yang tak mungkin ditinggalkan. Ia melanjutkan pengajarannya di rumah. Menurut Snouck Hurgronje, ia memberikan kuliah kepada murid-muridnya di sebuah ruangan yang luas sekali di lantai pertama rumahnya. Setiap hari dia mengajar antara jam 7.30-12.00. pengajaran tersebut dibagi dalam tiga perkuliahan yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya.
Seperti umumnya kiai di Jawa, Syekh Nawawi Banten memberikan pelajaran dengan sistem bandongan. Dalam sistem ini, sekelompok murid (antara 5-500 orang) mendengarkan sang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas buku-buku Islam berbahasa Arab. Setiap murid menyimak bukunya sendiri dan membuat catatan seperlunya terkait dengan arti maupun keterangan mengenai kata-kata atau buah pikiran yang masih perlu penjelasan. Dalam sistem bandongan ada yang disebut ḥalaqah, yaitu lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru. Ia menulis tidak kurang dalam sembilan disiplin ilmu, meliputi tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid (teologi), tasawuf (mistisisme), kehidupan Nabi (sirah nabawiyah), tata bahasa Arab, hadis, dan akhlak (ajaran moral Islam).
Sumber :
Hidayat AW. & Fasa MI., SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM, (Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora 2019)
Suwarjin, BIOGRAFI INTELEKTUAL SYEKH NAWAWI AL-BANTANI, (Jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol.2 No.2 Juli-Desember2017