وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ۞ وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ ۞ وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Surat Asy Syura ayat 38 s.d 40 di atas menegaskan lima hal :
- Orientasi hidup berketuhanan (menyambut seruan dan menegakkan shalat)
- Memutuskan urusan bersama melalui musyawarah (syura)
- Menciptakan keadilan sosial (melalui derma sebagian harta)
- Berjuang bersama melawan kezaliman (tirani)
- Ketabahan yang terpuji dalam melawan tirani dan memiliki kesiapan mental untuk melakukan rekonsiliasi ketika diberi Allah kemenangan dalam perjuangan tersebut, sebagaimana dipertegas kembali dalam ayat selanjutnya
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (Asy Syura : 43)
Kata musyawarah terambil dari kata (syawara) yang pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah. Madu selain lezat juga bisa menjadi obat serta sumber kesehatan dan kekuatan. Jadi, musyawarah sejatinya hanya digunakan untuk hal hal yang positif dalam rangka menghasilkan berbagai kebaikan. Ayat tentang musyawarah ini juga terkait dengan perintah kepada Nabi saw di surah Ali Imran ayat 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Ada 3 sifat/sikap yang dicontohkan oleh Nabi saw sebelum bermusyawarah:
- Berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Diperlukan akhlaq dalam menyampaikan pendapat, tidak otoriter dan memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Kesiapan mental untuk memaafkan jika terjadi kesalahfahaman dalam musyawarah
- Permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi. Permohonan ampun merupakan upaya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dan bisa melapangkan datangnya hidayah sehingga bisa meraih hasil yang terbaik. Allah tidak akan memberi hidayah pada orang yang berbuat aniaya (2:258), kafir (2:264), bergelimang dosa (5:108), berfoya foya (40:28), pengkhianat (12:52), dan pembohong (39:3).
Setelah musyawarah usai dan telah tercapai kebulatan tekad, maka berserah diri kepada Allah. Siap menerima apapun hasilnya, baik sesuai dengan harapan atau tidak. Asbabun nuzul ayat ini terkait dengan peristiwa perang Uhud. Nabi beserta para tetua yang berpengalaman bermaksud menghadapi 3000 pasukan kafir Quraisy di dalam kota Madinah. Tapi para pemuda yang bersemangat mendesak untuk menyongsong serangan pasukan besar tersebut di luar kota. Usulan dari para pemuda pejuang ini akhirnya diterima dalam musyawarah dan disepakati untuk berperang secara terbuka di pegunungan Uhud. Hasil akhirnya 750 pasukan muslim mengalami kekalahan cukup telak. Menghadapi pukulan menyakitkan ini Nabi saw tidak menyalahkan para sahabat yang menyelisihi pendapatnya dalam strategi berperang, karena bagaimanapun sudah menjadi hasil permufakatan bersama yang harus diterima dengan ketetapan hati dan kelapangan dada.
Tidak adanya petunjuk yang detail serta terperinci dalam Al Qur’an terkait dengan perintah ‘syura’ justru memiliki hikmah tersendiri bagi umat Islam. Sebab permasalahan dalam ‘syura’ ini termasuk persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan seiring perjalanan zaman. Sehingga Firman Allah hanya menghidangkan petunjuknya dalam bentuk prinsip-prinsip umum agar tuntunan itu dapat menampung perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.
Nabi saw juga senada dengan Al Qur’an dalam permasalahan musyawarah ini. Sebagai contoh, Nabi saw tidak menetapkan sistem yang baku dalam hal suksesi kepemimpinan di Madinah. Sehingga pada masa Khulafaur Rasyidin proses pergantian kepemimpinan berbeda antara khalifah satu dengan lainnya. Abu Bakar dipilih melalui perdebatan dan permufakatan Muhajirin dan Anshar di Saqifah. Umar ditunjuk melalui keputusan Abu Bakar. Utsman diangkat melalui panitia kecil (tim formatur) yang dibentuk oleh Umar. Ali ditetapkan melalui bai’at umat Islam. Menurut Ulama Mesir, Muhammad Al Ghazali, hal ini menunjukkan bolehnya setiap sistem pemilihan pemimpin dipraktikkan asalkan mampu mencegah tampilnya seorang tirani.
Cakupan wilayah negara juga berbeda, di jaman Nabi saw berbentuk Negara Kota (city state) sedangkan di masa Umar dan Utsman berbentuk empirium dengan Madinah sebagai pusatnya. Ali memindahkan pusat pemerintahannya ke Kufah (Iraq). Di Era Muawiyah dan seterusnya bentuk negara berubah menjadi monarki (kerajaan). Urusan terkait dengan suksesi, bentuk negara, dan cakupan wilayahnya disesuaikan dengan ciri dan kebutuhan masing-masing, sesuai hasil musyawarah dan ijtihad dari masyarakatnya. Prinsip utama yang digariskan oleh wahyu adalah fungsi negara sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat.
Diskursus Syura dan Demokrasi
Kebanyakan tafsir periode salaf (Thabari, Zamakhsari, Razi) tidak memberikan tafsiran politik yang kuat atas syura ini. Gagasan implementasi syura di pemerintahan, penguasa dan rakyat baru diperkenalkan oleh Qurthuby. Beliau mengutip pendapat dalam kitabnya al Jami’ul Ahkam, “Syura adalah salah satu fondasi syariat dan salah satu aturan hukum yang paling penting. Jika penguasa tidak bermusyawarah dengan para pakar dan ulama, ia wajib diasingkan”. Beliau juga mengutip fuqaha Maliki, Ibnu Khuwadz bin mindad, “Wajib bagi penguasa untuk bermusyawarah dengan para ahli agama dalam hal yang mereka tidak tahu menyangkut permasalahan agama, dengan militer menyangkut peperangan, dengan rakyat terkait kesejahteraan dan birokrasi, penasihat dan pengumpul pajak terkait dengan kemakmuran wilayah dan pertumbuhannya”
Sejak abad 20, para cendekiawan di berbagai negara muslim mulai menafsirkan ulang konsep syura sebagai konsep yang mirip dengan demokrasi. Penafsiran tradisional konsep syura memang tidak berubah, namun kecenderungan umumnya adalah menafsirkan ulang konsep syura dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya yang baru. Demokrasi yaitu pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan, yakni kehendak bersama. Prinsip-prinsip dalam demokrasi mendukung cita-cita Al Qur’an bagi tegaknya keadilan, perdamaian, moralitas dan hubungan yang baik sesama umat manusia. Pemerintahan tirani yang korup dan despotik (otoriter dan sewenang-wenang) berlawanan dengan iman karena memutlakkan sesuatu selain Allah. Iman kepada Allah menuntut agar segala perkara antar manusia diselesaikan melalui musyawarah, Seperti firman Allah dalam Asy Syura ayat 38.
Maududi (1903-1979) menganggap demokrasi tidak sesuai dengan Islam, karena memberikan hak kedaulatan Tuhan kepada rakyat. Umat Islam seharusnya memilih pemimpin negara yang mampu menafsirkan al Qur’an dan Sunnah. Dalam memberi tafsir dibantu oleh Majlis Syura yang terdiri dari para anggota yang diseleksi oleh kepala negara ketimbang secara demokratis dipilih oleh rakyat. Pendapat pendiri Jamaat al-Islami ini merupakan sebuah kemunduran dari teori Sunni pra modern, dimana Ahlul Halli wal aqd (AHW) harus memilih kepala negara, jadi AHW harus ada sebelumnya, tetapi kepala negara tidak harus mengambil saran-saran yang diberikan oleh AHW.
Yusuf Qaradhawi menolak pandangan bahwa demokrasi adalah mabda’ (prinsip) impor dari Barat. Sebaliknya beliau justru mengatakan bahwa syura berdekatan dengan demokrasi. Esensi demokrasi selaras dengan ruh ‘syura Islamiyah’, sesuai benar dengan prinsip Islam. Dalam demokrasi rakyat bisa memilih pemimpinnya sesuai dengan yang mereka kehendaki, bisa meminta pertanggungjawabannya, menolak perintah jika bertentangan dengan keyakinan. Pemilihan umum dalam pandangan Islam dapat diartikan sebagai pemberian kesaksian terhadap kelayakan si calon untuk menduduki jabatan politik strategis. Pendapat ulama populer ini senada dengan Muhammad Imarah, pemikir Islam al-Azhar: “Syura adalah bentuk demokrasi. Pemimpin seharusnya dipilih, diawasi dan diturunkan jika tidak bisa memenuhi tugasnya dalam sistem syura”.
Hubungan antar manusia secara demokratis sangat diperlukan dalam rangka memadukan kekuatan manusia melalui kerjasama dan menghindari perpecahan yang bisa melemahkan:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Anfal : 46)
Kerja sama dan gotong royong itu dilakukan dalam rangka kebaikan semua dan peningkatan kualitas hidup yang hakiki, yaitu kehidupan atas dasar takwa
¢وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ
…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah… (Al Maidah : 2)
Link Terkait
>> Demokrasi-Permata yang Hilang >> DEMONusaSyuraKRASI
Referensi:
- M. Quraish Shihab, 2011, Tafsir Al Misbah : Pesan-Kesan-dan Keserasian Al Qur’an, cetakan IV, Lentera Hati, Ciputat-Tangerang
- Abdullah Saeed, 2016, Al Qur’an Abad 21 : Tafsir Kontekstual, trj. Ervan N, Mizan Pustaka, Bandung
- M. W. Nafis, 2014, Cak Nur Sang Guru Bangsa : Biografi Pemikiran Nur Cholis Majid, Kompas Media Nusantara, Jakarta
- A. Syafii Maarif, 2015, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah, cetakan III, Mizan Pustaka, Bandung
- Hajriyanto Y.T., 2016, “Demosyurakrasi Pancasila: Jembatan Demokrasi dan Permusyawaratan” dalam Tafsir Kontemporer: Negara Pancasila Dar al ‘Ahdi wa al Syahadah, Jurnal-Maarif Institute Vol.11 No.1, Jakarta