Modernisme sekuler merupakan suatu sikap pemikiran yang muncul secara independen di banyak bagian dunia muslim abad ke-19. Sayyid Ahmad Khan dari Aligarh dan yang lainnya mulai mencari cara untuk memikirkan kembali Islam sebagai suatu sistem etika yang tetap setia pada tradisi dan spiritnya sendiri, tetapi membuatnya sejalan dengan dunia sekuler yang didominasi orang Eropa.
Sayyid Ahmad menganggap ajaran moral dan etika dari semua agama besar tidak secara fundamental bersifat irasional. Ajaran-ajaran itu masuk akal, setelah manusia mengembangkan kapasitas intelektual yang memadai untuk memahami ajaran tersebut. Manusia rasional dapat mencapai keunggulan moral dengan penalaran yang benar berdasarkan prinsip-prinsip fundamental yang tepat, dan Islam membawa prinsip-prinsip fundamental itu. Dengan menerapkan pendekatan rasionalistis untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadits dari sudut pandang filosofis – ilmiah, Ahmad Khan berupaya merekonsiliasi agama dan pengetahuan demi mereformasi kondisi sosial, kultural, dan pendidikan kaum muslim di India. Melalui upaya tersebut maka umat akan terbebaskan dari ketaatan buta pada tahayul dan dogma, yang menurutnya menjadi penyebab kejatuhan umat Islam.
Sayyid Ahmad mendirikan organisasi yang disebut ‘Masyarakat Ilmiah’ yang kemudian berkembang menjadi Universitas Muslim Aligarh. Pendidikan Tinggi ini selain mengajarkan ilmu-ilmu agama juga mengajarkan fisika, kimia biologi dan subjek-subjek modern yang lain. Ide dan pemikiran religius Sayyid Ahmad ini segera dieksplorasi oleh intelektual modernis di negeri-negeri muslim yang lainnya. Di Iran (dinasti Qajar) berdiri sekolah Darul Funun yang menawarkan pengajaran di semua bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra dan filsafat Barat. Di Akhir abad ke 19, faksi modernis di Turki Utsmani mengajukan kebijakan yang disebut Tanzhimat (Reformasi) yang mencakup pendirian sekolah-sekolah, sistem administrasi dan birokrasi, militer dan pemerintahan sipil yang bergaya Eropa. Kaum modernis berusaha membentuk kembali masyarakat mereka sejalan dengan kemajuan peradaban Barat.
Modernisme yang selanjutnya mengalami perkembangan menjadi Neomodernisme, seringkali dituding terkait dengan pemikiran sekuler. Sekuler dalam pemikiran Barat dipahami sebagai pemisahan antara agama dan urusan negara, tetapi sebagian cendekiawan muslim memahaminya sebagai paham yang mempunyai urgensi penting untuk memperbarui dan memajukan kehidupan umat dalam semua aspek kehidupan. Pemikiran modernisme maupun neomodernisme, yang dikonsepsikan oleh Fazlur Rahman, memiliki pertautan dengan pemikiran yang liberal, progresif, dan sintesis antara wawasan Islam tradisional (interpretasi pada kitab suci) dengan pemikiran Barat Modern.
Islam yang liberal memiliki ciri-ciri: komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial dan agama, pemisahan agama dari partai politik, dan posisi non sektarian negara. Pandangan Islam liberal tidak ingin terjebak pada pemahaman yang tekstual tentang Islam, sehingga wahyu perlu difahami dengan sungguh-sungguh untuk menangkap apa pesan sesungguhnya yang hendak diungkapkan melalui bahasa Al Qur’an tersebut. Sejumlah tokoh beserta gerakannya seperti: Muhammad Abduh dan kelompok muslim liberal di Al Azhar Mesir, Syaikh Waliyullah dan gerakan Aligarh di India, Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah di Indonesia dll dikategorikan sebagai Islam liberal pada jamannya.
Pada tahap paling awal terbentuknya Islam liberal, kelompok muslim modern berusaha mewujudkan terbentuknya institusi pendidikan atau memperbaiki kualitasnya, menyuarakan kebebasan politik atau penghapusan penjajahan, dan berupaya menerbitkan koran dan majalah untuk mengekspresikan pendapat mereka. Pada abad ke-20 tujuan kunci muslim liberal adalah demokrasi, kebebasan berpikir dan beragama, hak perempuan, dan HAM.
Modernisme di Indonesia
Menjelang akhir dasawarsa 1970-an mulai lahir gerakan pembaruan pemikiran islam di Indonesia. Gerakan pemikiran baru ini bersamaan dengan munculnya Nur Cholis Majid, Gusdur, Djohan Effendy dll pada hakikatnya merupakan sintesa antara pengetahuan Islam klasik dan pemikiran Barat modern. Mereka mencoba mengkombinasikan apa-apa yang terbaik dari modernisme dan tradisionalisme untuk menghasilkan sesuatu yang baru – sesuatu yang melampaui batas-batas yang ada pada tradisionalisme dan modernisme itu sendiri.
Sejumlah aktivis HMI: Djohan Effendy, Dawam Raharjo, Amin Rais, Syafii Maarif, Masdar F Masudi mengembangkan wacana keislaman-ilmiah melalui ‘Limited Group Discussion’ di Yogyakarta. Beberapa tokoh muslim lainnya seperti: Harun Nasution, Munawir Sadzali dan Nur Cholis Madjid dipandang berjasa dalam memberikan dasar-dasar logika pemahaman keislaman yang mendobrak model pemikiran keagamaan yang berkembang di IAIN, yaitu gagasannya tentang ‘Islam Rasional’.
Pembaharuan Islam pada dasarnya merupakan upaya mengejar ketertinggalan umat Islam dengan cara menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian besar kepada sains dan teknologi. Gagasan Cak Nur mengenai sekularisasi Islam dan slogan “Islam Yes, Partai Islam No” menjadi wacana kontroversial di era 1980-an. Berdirinya Universitas Paramadina merupakan upaya Cak Nur untuk mendapatkan wadah menumbuhkembangkan gagasan-gagasan keislaman yang ilmiah dan bercorak neomodernis. Gagasan Cak Nur berkisar pada upaya pembaharuan Islam, Hubungan Islam dan masyarakat modern-industrial, dan hubungan antara Islam, iman dan ilmu pengetahuan.
Gus Dur merepresentasikan pembaharu di kalangan pesantren-pedesaan (NU). Sebagai intelektual Gusdur berhasil mensintesis pendidikan islam klasik dan pendidikan Barat Modern untuk mengembangkan ide-ide liberalnya. Pemikiran Gus Dur berkisar pada tema: kekuatan dan kelemahan Islam tradisional dan sistem pesantren, dinamisasi dan tanggapan terhadap modernitas, Pluralisme, Humanisme dan kebijakan sosio-politik. Gus Dur memiliki perhatian besar pada berbagai isu keislaman dan keindonesiaan, dia menginginkan agar kearifan dan akar budaya lokal dijadikan kerangka untuk mengembangkan Islam di Indonesia (pribumisasi Islam).
Dari kalangan akademisi muslim, Harun Nasution mengumandangkan Islam rasional, Cak Nur melontarkan sekularisasi dan desakralisasi hal-hal yang duniawi, dan Mukti Ali memperkenalkan ilmu perbandingan agama. Orientasi ini melahirkan IAIN (sekarang UIN) bukan semata institusi untuk mentransformasikan pemikiran Islam yang bersifat tradisional dan normatif, tetapi mengarah kepada transformasi Islam yang humanis dan modern. Pada perkembangannya IAIN melahirkan pemikiran Islam yang bercorak intelektual dan tidak dogmatis. Wacana demokrasi, HAM, kesetaraan gender, kebudayaan, dialog antar agama berkembang pesat di IAIN. Islam tidak lagi dipandang sebagai sarana pemersatu emosional atau alat mobilisasi massa, melainkan sebagai bentuk pengembangan wacana dan dialog untuk menemukan kebenaran dan rahmat bagi alam.
Saat ini institusi-institusi IAIN telah berkembang menjadi Universitas Negeri Islam (UIN). Salah satu diantaranya adalah UIN Walisongo Semarang yang mengangkat visi Unity of Sains yang memadukan secara harmonis ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan.
Referensi:
- Tamim Ansary, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Penerbit Zaman, Jakarta
- Muhammad Majloum K, 2008, 100 Muslim Paling Berpengaruh Pada Sejarah, Penerbit Noura Books, Jakarta
- Haedar Nashir, 2013, Islam Syariat, Mizan Pustaka, Bandung
- Ahwan Fanani, Liberalisme Islam di Indonesia Sebuah Kontroversi, Pustaka Zaman, Semarang
- Greg Barton, 2017, Biografi Gusdur, Mahabbah, Yogyakarta
- Muhammad W. Nafis, 2014, Cak Nur Sang Guru Bangsa, Kompas Media Nusantara, Jakarta
- Carl W. Ernst, 2003, Pergulatan Islam di Dunia Kontemporer Doktrin dan Peradaban, Mizan, Bandung