Berpikir kritis mendayagunakan akal. Dengan akal manusia bisa berpikir tentang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan yang tidak bisa dilakukan. Berpikir sangat penting dilakukan sebelum melakukan satu tindakan. Itu disebut berpikiran kritis.
Berpikir kritis dapat diartikan juga dengan kemampuan untuk berpikir yang rasional, yang mencakup kemampuan untuk berpikir reflektif dan independen.
Dengan berpikir aantisipatif manusia tidak akan sembarangan memutuskan sesuatu. Malah, apa pun yang dilakukan pasca-dampak dan negatifnya difikirkan terlebih dahulu dengan matang. Dari berpikir akan lahir etika kebijaksanaan. Orang yang seperti itu disebut bijaksana.
Maka tidak heran, berbicara tentang kebijaksanan tidak bisa dilepaskan dari konteks berpikir kritis. Apakah ada hubungan yang sangat erat dan mendasar. Hanya dalam pemahaman kita selama ini, berpikiran antisipatif (kritis) selalu identik dengan penggunaan akal. Sedangkan bijaksana dengan sikap atau keputusan.
Padahal, jika lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bijaksana memiliki beberapa arti. Diantaranya, pertama, selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya). Kedua, pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya). Bijaksana juga diartikan dengan arif dan tajam pikiran.
Di era media sosial seperti sekarang, sangat penting bagi pengguna media sosial agar berpikir kritis. Media sosial sebagai salah satu sumber informasi seperti informasi yang beragam, tidak hanya informasi yang positif tetapi juga informasi negatif seperti beredarnya berita bohong (hoax) atau hate speech (ujaran kebencian).
Berita bohong dan ujaran kebecian sangat jelas bagi pengguna media sosial yang tidak bisa berpikir kritis. Mereka akan terjebak dengan informasi yang salah. Jika hal ini terjadi maka akan melahirkan sikap atau tindakan yang salah juga. Kalau kita lihat di media sosial seperti Facebook atau Twitter, banyak yang terjadi ujaran-ujaran kebencian kepada tokoh-tokoh tertentu karena disimpangkan (pelintiran). Padahal kebenarannya belum tentu, bahkan keliru. Ujung-ujungnya tidak jarang juga beberapa orang yang minta maaf untuk menyanyikan ‘lagu-lagu’ setelah melakuan ujaran kebencian karena kekeliruannya.
Contoh yang lain, mungkin tidak ada yang perlu khawatir tentang masalah kebangkitan PKI. Informasi tersebut secara umum masif di media sosial. Banyak pengguna media sosial yang percaya begitu saja. Namun, masih ada saja orang yang mempermasalahkan lahirnya kembali PKI, yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Terutama dari kelompok Muslim Cyber Army (MCA) dan telah ditangkap oleh yang berwajib.
Di era media sosial kita tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi yang menyebar (viral). Sebelum mengambil keputusan untuk percaya atau tidak, pengguna media sosial harus melakukan perbandingan dengan informasi lain yang serupa. Selain itu, harus menelusuri lebih jauh tentang informasi tersebut. Melakukan cek kebenaran suatu informasi dapat dilakukan dengan mencari tahu komentar-komentar dari orang-orang yang sudah tidak diragukan lagi ketokohannya atau mencari tahu dari mana asal informasi tersebut. Jika tidak tidak jelas maka informasinya harus diragukan.
Dengan berpikir kritis di era media sosial akan lahir sikap-sikap bijaksana yang dapat terwujud dengan tidak terburu-buru bekomentar yang mengarah ke ujaran kebencian. Yang mudah dilakukan adalah diam dan mengubah informasi yang kita terima sebagai pengetahuan saja. Bukan sebagai keputusan untuk menentukan sikap yang harus kita ambil dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita berpikir kritis dan menggunakan media sosial dengan arif dan bijaksana. Sebagai orang yang beragama, kita tahu bahwa agama memiliki missi kedamaian, bukan permusuhan. Sebagai pengguna aktif media sosial, sudahkah kita berpikir kritis?