Salah satu butir kesepakatan Perjanjian Hudaybiyah pada tahun 6 H adalah bahwa Nabi saw tidak diperkenankan berumrah pada tahun itu dan baru diperbolehkan pada tahun berikutnya. Setelah berlalu setahun dari kesepakatan tersebut Nabi saw bersiap-siap menuju Makkah untuk berumrah. Umrah ini dinamai Umrah al-Qadha’. Sesuai dengan kesepakatan Hudaybiyah rombongan Nabi tidak membawa persenjataan karena mereka memang bertujuan untuk menunaikan ibadah.
Pada bulan Dzulqa’dah 7 H Nabi berangkat bersama dua ribu kaum muslimin. Nabi mengambil miqat di Dzul Hulaifah, beliau membawa hadyu sebanyak enam puluh ekor unta. Sepanjang jalan menuju Makkah dengan mengenakan kain ihram kaum muslimin tak henti-hentinya mengumandangkan talbiyah, takbir, tahmid dan tasbih dengan penuh kesyahduan dan kerinduan.
Sementara itu, kafir Quraisy setelah mengetahui keberangkatan Nabi bersama rombongan mereka buru-buru meninggalkan kota Makkah dengan menaiki gunung-gunung di sekitar Masjidil Haram dan mendirikan perkemahan di situ. Tujuan mereka ingin mengetahui kondisi kaum muslimin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah. Mereka menyebarkan isu bahwa kaum muslimin pasti kelelahan dan kepayahan akibat perjalanan jauh dan cuaca di Madinah selama ini tidak sesuai dengan mereka.
Akhirnya, kaum muslimin memasuki kota Makkah dari arah utara. Nabi mengendarai unta al-Qashwa yang dituntun oleh Abdullah bin Rawahah, salah seorang terkemuka dari sahabat Nabi. Mengetahui bahwa rombongan diamat-amati oleh kaum musyrik dari bukit Qu’aiqu’an yang mengarah ke Ka’bah antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani, Nabi berpesan kepada seluruh jamaah yang laki-laki:”Allah merahmati siapa yang menampakkan ketegaran dan kekuatan kepada mereka pada hari ini”. Kumandang takbir dan tahlil dari ribuan kaum muslimin bergemuruh di sekitar Ka’bah membuat takjub dan kecut hati orang-orang Quraisy yang menyaksikannya dari atas bukit.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Ketika itu Rasul saw melilitkan bagian atas kain ihramnya melalui ketiak sehingga bahu kanan tertutup kain dan bahu kiri terbuka. Mereka sambil berlari-lari ketika tiba di lokasi Hajar Aswad hingga ke rukun Yamani, sedang dari Rukun Yamani sampai ke Hajar Aswad berjalan biasa. Kaum muslimin berlari di areal di mana kaum musyrik dapat melihat mereka dan berjalan ketika pandangan kaum musyrik terhalangi. Beliau sengaja melakukan itu dalam rangka show of force, untuk menampakkan bahwa kaum muslimin tegar dan tetap kuat bersemangat. Apa yang dilakukan Nabi saw tetap dilestarikan hingga kini ketika melakukan thawaf dan sa’i.
Setelah thawaf Rasul dan rombongan melanjutkan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah dengan tujuh putaran. Beliau sa’i dengan berjalan kaki biasa, kemudian lari-lari ketika pandangan kaum musyrik dapat menjangkau rombongan. Selanjutnya beliau menyembelih hadyu di dekat Marwah. Kemudian beliau mencukur rambutnya (tahallul). Dengan demikian ibadah umrah telah selesai ditunaikan.
Hari-hari selanjutnya Nabi kembali memasuki Ka’bah dan beri’tikaf hingga masuk waktu Dhuhur. Bilal kemudian mengumandangkan adzan dan iqamah dari atas Ka’bah. Nabi saw memimpin dua ribu kaum muslimin shalat berjamaah di depan Ka’bah. Selama tinggal di Makkah kaum mereka memperbanyak thawaf, shalat dan dzikir. Sementara itu, penduduk Makkah beserta para tokohnya dari puncak-puncak bukit menyaksikan kekhusyukan dan kedamaian kaum muslimin dalam menunaikan ibadah serta ketaatan dan kecintaan mereka yang begitu besar kepada Nabi-nya.
Setelah bermukim di Makkah selama tiga hari, datanglah dua utusan kaum musyrik yaitu Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza. Keduanya mengingatkan butir Perjanjian Hudaibiyah yang hanya mengizinkan Nabi bersama kaum muslim bermukim di Makkah selama tiga hari saja. Nabi berkata kepada mereka:”Aku baru saja menikah dengan salah satu wanita Makkah bagaimana jika aku ‘bersamanya’ dahulu sambil menyiapkan walimah agar kalian bisa makan bersama kami?”. Memang sebelum masuk ke Makkah Rasul mengutus Ja’far bin Abi Thalib untuk melamar Maimunah binti al-Harits. Kedua utusan musyrik itu enggan menerima usul Nabi. Maka Nabi saw segera mengumumkan kepada seluruh anggota rombongan untuk berkemas dan bersiap kembali ke Madinah.