Islam telah menawarkan keberhasilan militer dan politiknya sebagai argumen bagi doktrin-doktrin serta bukti bagi kebenaran wahyu. Proses itu dimulai dengan pertempuran-pertempuran perdana yang bersifat perlambang (ikonik) di Badar dan Uhud, puncaknya pada penaklukan Makkah. Hasil peperangan tersebut dianggap mempunyai makna teologis, dan pengaitan ‘kemenangan’ (victory) dengan ‘kebenaran’ (truth) ini terus berlanjut selama ratusan tahun. Keajaiban ekspansi muslim selama Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayah dan Abasiyah semakin memantapkan teologi ini.
Lalu datanglah serangan bangsa Mongol yang menghancurleburkan dinasti Abasiyah. Peristiwa tragis ini memaksa para teolog muslim untuk menguji kembali asumsi-asumsi mereka. Jika agama ini membawa kebenaran kenapa bisa dikalahkan oleh Mongol, kaum yang tidak beragama?. “Bencana Mongol” ini melahirkan para pembaharu di dunia Islam. Ibnu Taimiyyah melontarkan ide bahwa tidak ada yang salah dengan melihat kemenangan Islam sebagai bukti kebenarannya, masalahnya terletak pada kaum muslim sendiri yang tidak mengamalkan islam dengan benar sebagaimana para ‘salafus sholih’. Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa jihad adalah kewajiban inti setiap muslim.
Sebuah respons yang lebih populer dan lembut daripada Salafisme adalah dengan bermekarannya tasawuf, aliran agama yang berwawasan luas dan tidak dogmatik, berseberangan dengan ideologi Ibnu Taymiyah yang harfiyah dan kaku. Para sufi adalah individu-individu yang karena tidak puas dengan birokratisasi agama, berpaling ke dalam diri dan mencari metode-metode untuk mencapai persatuan mistik dengan Allah. Tarekat-tarekat sufi ini berkembang pesat di seluruh dunia muslim, pengaruh terbesarnya ada di Asia kecil yang kemudian melahirkan Turki Utsmani. Sedangkan tarekat sufi di utara Persia kemudian melahirkan dinasti Syafawi.
Ketika Abasiyah dihancurkan oleh Mongol (1258), kelemahan umat Islam saat itu tampak konkret dan mudah dimengerti. Dan setelah berinteraksi dengan peradaban Islam, akhirnya Mongolpun terserap dan memeluk Islam seperti halnya Persia dan Turki sebelumnya. Bahkan Mongol sejak era Mahmoud Ghazan (1295) menetapkan islam sebagai agama resmi negara dan mendirikan dinasti muslim Il-Khan yang berkuasa di Persia selama beberapa Abad. Beberapa keturunan Mongol selanjutnya mendirikan dinasti Moghul di India.
Tetapi menghadapi pendudukan Eropa di abad ke-18 maka kaum muslim terperanjat. Orang-orang Eropa datang dengan terbungkus dalam kepastian tentang cara hidup mereka dan menjajakan ide-ide mereka sendiri tentang kebenaran hakiki. Pada abad ke-19, tantangan umat Islam bukan datang dari Kekristenan melainkan dari pandangan dunia sekuler humanistik yang lahir dari Reformasi, campur aduk berbagai hal yang populer dengan sebutan ‘modernitas’.
Tiga kerajaan besar (Turki Utsmani, Moghul dan Syafawi) telah mengalami kemerosotan drastis pada akhir abad ke-18. Setiap pemerintahan agraria memiliki umur yang terbatas, dan negara-negara muslim ini, yang mewakili perkembangan terakhir ideal agraria, telah tiba pada penghujung yang alami dan tak terhindari. Pada periode pramodern, kerajaan Barat dan Kristen juga mengalami hal yang sama, yaitu kemerosotan dan jatuh. Negara-negara islam (Abasiyah dll) telah runtuh di masa sebelumnya, pada setiap kesempatan umat islam mampu bangkit kembali dari reruntuhan lalu meraih prestasi yang lebih besar lagi. Tetapi kali ini berbeda, kelemahan kaum muslim pada akhir abad ke-18 bertepatan dengan munculnya jenis peradaban baru yang sama sekali berbeda di Barat, dan kali ini tampaknya dunia muslim akan merasa jauh lebih sulit untuk memenuhi tantangan tersebut.
Pada akhir abad ke-18, umat Islam memandang ke sekeliling dan melihat dengan ngeri bahwa mereka telah ditaklukkan: dari Nusantara, Bengal hingga Istambul, mereka tunduk kepada orang asing dalam setiap asek kehidupan mereka. Jadi sekarang muncul pertanyaan seperti dulu waktu “bencana Mongol”: “Jika kemenangan proyek perluasan muslim membuktikan kebenaran wahyu, lalu apa arti ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi orang-orang asing baru ini bagi keimanan”?. Bagaimana mungkin Dunia Islam jatuh semakin jauh di bawah dominasi Barat sekuler yang tidak bertuhan? Semakin banyak muslim bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Upaya mereka untuk menempatkan sejarah islam kembali pada jalan yang lurus kadang memunculkan kehilangan harapan dan bahkan putus asa. Fenomena ‘pengebom bunuh diri’ menunjukkan bahwa sebagian kaum muslim yakin mereka berhadapan dengan rintangan yang hampir tanpa harapan.
Akan tetapi diluar tanggapan yang putus asa tersebut, pada momen yang kritis ini, lahir banyak reformis muslim dan gerakan untuk membangkitkan kembali kekuatan kaum muslim menguat. Gerakan ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis tanggapan umum terhadap pertanyaan yang meresahkan itu: Pertama, Apa yang perlu dilakukan kaum muslim adalah menutup pengaruh Barat dan mengembalikan Islam kepada bentuk aslinya yang murni. Kedua, memikirkan kembali Islam sebagai sistem etika yang kompatibel dengan ilmu pengetahuan dan kegiatan-kegiatan sekuler. Tanggapan ketiga, umat Islam perlu memodernisasi diri tapi bisa melakukannya dalam cara khas muslim, yaitu: “Ilmu sejalan dengan iman islam dan modernisasi tidak harus berarti westernisasi”.
Referensi:
- Tamim Ansary, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Penerbit Zaman, Jakarta
- Qasim A.I dan Muhammad A.S, 2014, Sejarah Islam, Penerbit Zaman, Jakarta
- HAMKA, 2016, Sejarah Umat Islam, Penyunting: Mediati dan Ratih, Gema Insani , Jakarta
- Karen Armstrong, 2001, Sejarah Islam, Penerbit Mizan, Bandung