فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ – ١٦
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (At Taghabun : 16)
Allah mengingatkan kita di dalam surat al Balad, “Mengapa engkau tidak memilih untuk menempuh jalan mendaki yang terjal lagi sukar (al Aqabah) ?”. Orang yang bercita-cita tinggi untuk mendaki gunung ketaqwaan tidak akan puas menjadi penonton yang nyaman alias berhenti pada rasa takut pada siksa neraka lalu menjaga indera dari perbuatan dosa. Ia akan mengerahkan seluruh daya upaya sesuai batas kemampuannya untuk mengisi usianya dengan kebajikan, kesabaran dan welas asih.
Makna Taqwa
Upaya meraih ketaqwaan pada level ini tercakup dalam makna kata Aslaha yang terambil dari akar kata shalaha dan sholuha. Ashlaha terpaut dengan aktivitas dalam hati sanubari termasuk di dalamnya meluruskan aqidah. Aqidah akan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan dan ketenangan hati/pikiran mempengaruhi baik buruknya pekerjaan (Muhammad:2).
Aslaha juga berarti menjalin keharmonisan atau melakukan perbaikan hubungan terhadap orang yang pernah menganiayanya secara pribadi.(Asy Syura:40). Dalam surah an Nisa : 128-129, Yuslihu maksudnya setiap saat secara berkesinambungan mengadakan perbaikan (continuous improvement/Kaizen) dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Alah. Ayat tersebut juga menekankan perlunya mengupayakan perdamaian yang sebenar-benarnya (sulhan), ketika terjadi konflik dalam rumah tangga.
Menurut al Ghazali, shalih artinya orang yang baik secara pribadi, sedangkan muslih adalah orang yang baik secara pribadi dan sosial, yang dampak perbuatan shalihnya bisa dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya.
Shalih kata Ibnu Hajar, adalah orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba Allah. Memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya, dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat.
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad)
Muslih adalah siapa yang menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas (memperbaiki) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Yang lebih baik lagi adalah siapa yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu ia berinovasi melakukan aktivitas yang melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi daripada semula.
Shalih dan muslih mencakup orang yang bermanfaat, berguna, kompeten, berbudi luhur, tidak memihak, lurus, jujur, taat, alim, patuh, dan benar. Hatinya penuh dengan sifat welas asih (rahim), tindakannya selalu terukur dan memiliki kebijaksanaan. Apabila di dalam al Qur’an Allah menyebut shalihin sebagai kelompok, maka bermakna lebih baik dan lebih tinggi kualitasnya daripada sebutan orang shalih.
يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ – ١١٤
Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk (kelompok) orang-orang saleh. (Ali Imran : 114)
10 Karakteristik Para Pendaki (Ketaqwaan)
- Kecerdasan Sosial (Mempunyai karakter untuk selalu berbagi baik dalam kondisi lapang maupun sempit).
- Kecerdasan Emosional (Mampu menahan amarah, memaafkan dan menjalin relasi yang harmonis).
- Kecerdasan Spiritual (Memiliki keimanan yang kuat dan Kepasrahan yang tinggi).
- Bersegera memenuhi seruan Tuhan melalui aneka kebaikan
- Mendirikan shalat secara khusyu’ dan menjaga shalat-shalatnya
- Bermusyawarah dalam berbagai urusan muamalah
- Saling membantu melawan kezaliman
- Disiplin diri dengan mengurangi aktivitas yang tidak bermanfaat
- Menjaga kehormatan diri lewat kesetiaan dan tidak selingkuh
- Profesional, bersungguh-sungguh dalam menepati janji dan tanggungjawab
Orang-orang yang mendaki jalan ketaqwaan baginya 10 anugerah dari Tuhan
- Mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan
- Dianugerahi rizqi dari arah yang tak diduga
- Dicukupi kebutuhannya
- Dimudahkan segala urusannya
- Diampuni dosa-dosanya
- Diperbesar ganjarannya
- Diterima amal-amal kebajikannya
- Dianugerahi furqon (cahaya kebenaran)
- Mendapatkan barakah Nabi saw melalui salam seluruh umat Islam yang menunaikan shalat (dalam doa tasyahud). Seperti disebutkan dalam hadits:
فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمُوهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Jika kalian mengucapkan seperti itu, maka doa tadi akan tertuju pada setiap hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
10. Ia akan mendapatkan Jannatul Muamalah, akan dimasukkan ke dalam surga yang derajatnya ditentukan dari kadar serta prestasinya dalam beribadah. Mereka akan bergabung ke dalam kelompok kanan (Ashabul Yamin) dan akan masuk surga Na’im dan Firdaus.
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya surga itu memiliki seratus derajat. Satu derajat dengan derajat lainnya laksana antara langit dan bumi. Surga Firdaus adalah derajat yang tertinggi. Darinya memancar sungai-sungai surga yang empat. Jika kalian memohon surga, maka mohonlah surga Firdaus.” (HR. Bukhori)
Para salik, pencari jalan menuju Allah sudah tidak lagi didorong oleh motivasi yang bersifat duniawi. Semua aktivitas kehidupannya digerakkan oleh keinginan untuk mendapatkan pahala di surga. Ta’dziiman lil maujud. Menganggap agung kepada apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Ibadahnya menghasilkan tambiihun wa idzharun lil hikmah, menambah ingat hatinya kepada Allah dan menampakkan serta mengharapkan faidah-faidah ibadah agar berdampak pada dirinya sendiri, dan belum menuju sepenuhnya kepada Allah.
Oleh Sebab itu, belum saatnya menghentikan pendakian selagi masih ada sisa kesempatan. Mensyukuri dan meneladani pribadi para Nabi dan para kekasih yang sudah berhasil mencapai puncak-puncak gunung ketaqwaan.