Islam sebagai agama yang ajarannya sarat dengan nilai-nilai akhlak al-karimah (laku budi yang mulia),nampaknya tengah di uji reliabilitasnya. Akhir-akhir ini di Indonesia, bermunculan orang atau kelompok yang mengaku beragama Islam, tetapi sikap dan tindakannya keras, garang, sering marah-marah kepada kelompok diluar kelompoknya karena beda pandangan, bahkan ada kelompok yang melakukan aksi bom bunuh diri, membunuh banyak manusia, merusak fasilitas umum, dengan mengatas namakan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah). Tindakan ekstrem yang demikian justru merugikan Islam. Mengakibatkan orang luar (non-Islam) menilai Islam sebagai agama teror, mengerikan, dan pembunuh. Hingga akhirnya menimbulkan Islamophobia (takut dan khawatir terhadap apa saja yang berbau Islam).
Di Indonesia, sikap dan tindakan esktrem tersebut bermunculan sejak pasca tumbangnya rezim orde baru. Rezim yang dikenal diktator dan korup, tumbang setelah pengumuman Mayjen Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia kurang lebih selama 32 tahun. Setelah itu, Indonesia mengalami babak baru yang kemudian sering disebut sebagai era reformasi. Di era ini, Indonesia mengalami liberalisasi ideologi dan gerakan politik yang luar biasa derasnya.
Pasca tumbangnya orde baru sebagai rezim pengekang ide dan gagasan masyarakat. As’ad Said Ali (mantan petinggi Badan Intelijen Negara) menyatakan, ada lima tipologi besar ideologi politik yang secara aktual menjadi orientasi politik berbagai kelompok gerakan yang cukup menganggu kestabilan sosial politik sejak Indonesia memasuki era reformasi (2013: x).
Lebih lanjut, orang yang menjadi Wakil Kepala BIN sejak 2001 ini menjelaskan empat diantara tipologi ideologi itu bersumber dari pemikiran Barat, dan satu lagi bersumber dari gagasan keagamaan (Islam). kelima tipologi ideologis tersebut memiliki varian masing-masing yang saling berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain.
Jika disederhanakan, kelima tipologi ideologis tersebut, adalah: kiri-radikal, kiri-moderat, kanan-konservatif, kanan-liberal, dan Islamisme, dapat dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, ideologi sekuler, mempunyai spektrum yang sangat luas dari kanan sampai ideologi kiri. Kedua,ideologi yang berbasis ajaran agama. Untuk ideologi yang terakhir, menurut Doktor Honoris causa dari UNDIP Semarang ini lebih banyak berasal dari agama Islam.
Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia (Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_indonesia) ketika turut andil menjadi isme dan turut mewarnai dinamika ideologi di era reformasi, tentu menarik perhatian banyak pihak.
Masih menurut Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015, Islamisme sebagai ideologi politik di era reformasi dapat dibagi menjadi empat kelompok gagasan, yakni Islam modernis, Islam tradisionalis-konservatif, transformisme Islam, dan Islam fundamental. Dari beberapa kelompok gagasan Islamisme diatas, ada macam varian yang menginginkan entitas umat universal dibawah kekhalifahan dunia. Mereka berusaha mengubah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara agama, mengganti ideologi negara dari Pancasila menjadi Islam versi mereka, dan bahkan menghilangkan NKRI kemudian menggantinya dengan Khilafah Islamiyah. Kehadiran gerakan Islam yang tergolong sebagai kelompok Islam non-mainstream tersebut merupakan ancaman bagi keberlangsungan negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Salah satu antitesis dari gerakan Islam tersebut, hadirlah gerakan Islam yang senantiasa merevitalisasi pemahaman Islam dan wawasan kebangsaan Indonesia. Mereka adalah varian Islam yang dengan keukeuh menerima konsep negara bangsa Indonesia dan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final. Varian Islam yang demikian oleh Abdurrahman Wahid (2009:18) disebut sebagai wujud kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah) dalam beragama Islam, yaitu pribadi-pribadi muslim yang terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dan dengan cara demikian mereka berjuang keras mewujudkan kasih-sayang (rahmat) bagi semua makhluk (mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin).