Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan (1817-1885) menyampaikan: “Rasulullah memiliki hak untuk diagungkan dan dimuliakan”. Beliau adalah Syaikhul Islam dan Mufti Mekah di zamannya. Keturunan dari Syaikh Abdul Qadir Jailani ini menjelaskan, “Diantara bentuk-bentuk pengagungan kepada beliau adalah bergembira pada malam maulid Nabi saw, pembacaan maulid, berdiri ketika disebutkan kelahiran beliau, memberi makan (pada yang hadir), dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.
Sejarah Perayaan Maulid Nabi saw
- Dinasti Abbasiyah (Abad 8 M)
Rumah kelahiran Nabi saw dijadikan musholla oleh ibunda dari Khalifah Harun Al Rashid. Saat ini rumah tersebut, yang berada di kompleks masjidil Haram dijadikan perpustakaan oleh pemerintah Arab Saudi.
- Dinasti Fatimiyah di Mesir (Abad 10)
Menurut sejarawan Al-Sakhowi dan al-Maqrizi, yang pertama kali merayakan maulid Nabi saw yaitu Khalifah keempat dinasti Fatimiyah, Mu’izh li al-Dinillah (953-975 M). Al Maqrizi melukiskan satu peringatan yang diselenggarakan pada 1122 M yang dihadiri para ulama dan tokoh agama. Mereka mendengarkan khutbah-khutbah. Kue-kue khususnya madu (makanan kesukaan nabi saw) dibagi-bagikan, fakir miskin menerima sedekah.
- Dinasti Ayubiyah di Irbil (Awal abad 13 M)
Peringatan maulid Nabi saw pertama kali diselenggarakan di Moshul Irak oleh Syaikh Umar bin Muhammad Al Mala’. Sultan Irbil (wilayah Irak sekarang), Muzhaffaruddin Al-Kaukabri (1207-1232 M), dari dinasti Ayubiyah ikut menyelenggarakan perayaan maulid dalam skala besar. Persiapan untuk maulid sudah dimulai sejak bulan Muharam, pondok-pondok kayu didirikan, disiapkan kamar-kamar bagi tamu-tamu dari dari luar kota. Pangeran-pangeran mengikuti perayaan meliputi doa, khutbah dan shalat, serta sama’ (konser mistis sufi).
- Penguasa Mamluk Mesir (Abad 14 M)
Mengadakan perayaan maulid Nabi saw dengan penuh kebesaran di pelataran benteng Kairo. Di situ didirikan sebuah tenda yang amat besar dan dihias dengan sedemikian indah. Setelah pembacaan Al Qur’an, Sultan membagi-bagikan pundi-pundi dan kue-kue kepada para ulama. Warga masyarakat juga mengadakan perayaan maulid di tempat tinggalnya masing-masing.
- Turki Utsmani (Abad 15 M)
Selalu merayakan maulid sejak abad 15 M, masjid-masjid dihiasi dengan berbagai lampu. Hari itu dilewatkan dengan berpuasa. Para sufi memainkan peranan penting dalam mengelaborasi maulid dan memiliki andil dalam menjadikan maulid menjadi penuh warna. Tahun 1912 Turki Utsmani menetapkan 12 Rab’iul Awal, hari lahir Nabi saw, sebagai hari libur nasional di Turki. Hal ini diikuti oleh banyak negara muslim di dunia.
Hikmah Perayaan Maulid
- Nilai spiritual. (kecintaan pada Nabi saw)
Syekh Abu Syamah (salah seorang guru Imam Nawawi) menyampaikan, “Salah satu amaliyah bid‘ah terbaik di zaman kita sekarang adalah peringatan yang diadakan setiap tahun pada hari bertepatan dengan hari kelahiran Rasulullah saw yang diisi dengan sedekah, kebaikan, dan ekspresi keindahan serta kebahagiaan. Semua itu yang juga dibarengi dengan santunan kepada orang-orang fakir menunjukkan bentuk cinta dan takzim kepada Rasulullah saw di batin mereka yang mengamalkannya. Semua praktik itu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah swt atas nikmat-Nya, yakni menciptakan Rasulullah saw yang diutus membawa rahmat bagi segenap penghuni alam semesta.”
Merayakan maulid nabi tidak harus pada waktu tertentu yaitu di bulan Rabiul awwal, tetapi itu dapat dirayakan setiap saat sebagai ungkapan rasa syukur yang mendalam. Karena itu tidak heran jika al Imam Abdurrahman Al Daibaiy salah seorang penulis kitab maulid menulis dalam kitabnya : “Seandainya kita melakukan acara maulid untuk Nabi Muhammad saw setiap hari, maka itu pun wajar”. Maulana Habib Luthfi bin Yahya, mursyid Jamaah Ahlu Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdhiah (Jatman) dari pekalongan juga mengamalkan peringatan maulid sepanjang tahun.
- Nilai moral
Dalam perayaan maulid dibacakan sejarah peri kehidupan Nabi saw, baik melalui pembacaan syair-syair maulid maupun pengajian bertemakan sirah nabawiyah. Umat islam dikenalkan dengan Nabi Muhammad saw dan sifat-sifatnya yang terpuji. Dari peringatan maulid ini diharapkan umat islam dapat mempraktikan nilai-nilai moral dan akhlaq mulia tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Sultan Muzhaffaruddin dari dinasti Ayubiyah sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi saw dalam rangka mendapatkan spirit dan membangkitkan semangat juang umat Islam dalam menghadapi agresi tentara Frank (Perang salib). Ipar pejuang islam Salahuddin al-Ayyubi ini gugur sebagai syahid dalam medan jihad menentang tentera Salib Frank ketika mempertahan kota Akka pada tahun 1232 M. Saat itu moralitas umat islam berada pada titik nadhir, antar penguasa muslim saling bertarung satu sama lain. Bahkan dalam rangka mewujudkan ambisinya untuk berkuasa tidak jarang bekerjasama dengan tentara Salib untuk menghantam saudaranya sesama muslim. Seperti yang dilakukan oleh sultan Al Kamil (1218-1238) yang bekerja sama dengan Frederick II (raja Jerman) untuk mengamankan kekuasaannya dari para pesaing (penguasa Ayubiyah) dengan imbalan menyerahkan Palestina ke pasukan Salib pada tahun 1229.
Banyak sekali pujian disampaikan oleh para ulama kepada sultan muzhafar ini, diantaranya disampaikan oleh Imam Addzahabi (1274-1347 M), “Beliau (Malik Muzhaffar) merupakan seorang yang tawadhu’, baik, ahli sunnah, dan menyintai para fuqaha’ dan muhadditsin.” Ibn Katsir (1301-1372 M) mengungkapkan, “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil. Semoga Allah merahmatinya”.
- Nilai sosial.
Ibnu Qayim al-Jauzi mengatakan bahwa perayaan maulid dimulai pada masa sultan Al-Muzhafar. Beliau menceritakan parayaan tersebut sangat besar, megah, dan penuh dengan kebahagiaan yang tidak terkira. Disediakan 5.000 kambing, 10.000 ayam, 100.000 porsi, dan 30.000 piring manisan. Dihadiri oleh para ulama dan para sufi, yang oleh Sultan diberikan setiap orang 300.000 dinar.
Memuliakan dan memberikan jamuan makanan para tamu, terutama dari golongan fakir miskin yang menghadiri majlis maulid merupakan bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an surat Al-Insan:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا۞ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
- Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
- Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Karya Kitab Maulid
Para Ulama penulis kitab maulid Nabi saw diantaranya adalah:
- Abul Khattab bin Dihyah Al andalusi (1207), Beliau adalah ulama ahli hadits yang bergelar Al Hafidz asal Maroko. Ia menulis kitab At Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir (التنوير في مولد البشير النذير) yang dihadiahkan kepada sultan Muzhaffar.
- Ibnu Qayyim Al Jauzi (1291-1350 M) menulis kitab Maulid Al Arus. Kemudian muridnya, Ibnu Katsir (1301-1372 M), menulis karya risalah maulud Nabi saw dengan judul kitab Maulid ibnu Katsir.
- Sulayman Chelebi (Abad 14) dari Turki menulis kitab maulud (Mevlud)
- Al-Imam Al-Suyuthi (abad 15 M) menulis kitab maulid “Husn Al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid”, dan menyebut peringatan maulid sebagai bid’ah hasanah.
- Ibnu Hajar Al Haitsami (abad 16 M), menulis kitab maulid dan membolehkan pembacaan Al Qur’an serta syair-syair qasidah dalam peringatan maulid.
- Wajihuddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali atau dikenal dengan Ibnu Addaiba’ (1461-1537), seorang ulama ahli hadits dan sejarah bermadzhab Syafii berasal dari Yaman Utara. Karya maulidnya sangat populer di Indonesia yaitu Maulid Diba’i.
- Al Barzanji, Qadhi madzhab Maliki di Madinah (Abad 18) menulis kitab maulud yang sering dibaca di Indonesia yang dikenal dengan sebutan ‘berjanjen’.
- Penulis kitab maulid lainnya: Al-Imam Al-Izz ibn Abd Al-Salam (w. 1261), Al-Imam Al-Nawawi (w. 1277), Al-Hafizh Al-Iraqi (w. 1403), Al-Hafizh Al-Sakhawi (w. 1496), Mufti Beirut Libanon Syeikh Mushthafa Naja (w. 1932), Mufti Mesir Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1935).
Ibnu Taymiyah (w.1328) menyatakan perayaan-perayaan maulid sebagai mengada-ada (bid’ah). Tokoh pembaharu ini dengan penuh semangat menyerang peringatan-peringatan semarak maulid yang lazim diselenggarakan pada saat itu, yang menurutnya tidak dibenarkan dan juga tidak pernah dilakukan generasi muslim kurun awal (salaf). Meski demikian, salah satu karya maulid awal justru lahir dari pena seorang muridnya, Ibnu Katsir. Para murid Ibnu Taimiyah seperti Ibnul Qayim al Jauzi, Adz Dzahabi dan Ibnu Katsir memuji-muji sultan Muzhaffar sebagai penyelenggara maulid Nabi saw yang pertama kali.
Namun, jika penyelenggaraan maulid Nabi saw tidak dilakukan secara berlebihan, Syaikh Ibnu Taymiyah menyampaikan: “Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah saw, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.” Selanjutnya dalam kitab Iqtidla’u al-Shirati al-Mustaqim ini Ibn Taimiyah menjelaskan perbandingan antara hukum maulid dengan makruhnya hukum memperindah mushaf (kertas dan khatnya), dimana di situ terdapat potensi manfaat dan bisa juga berpotensi mafsadat (keburukan).
Shollu Ala Nabi…