Seruan Nabi Ibrahim
Setelah Nabi Ibrahim dan Ismail selesai membangun Ka’bah, selanjutnya Allah berfirman agar tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun:
أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
…”Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan yang beribadat dan yang ruku’ dan sujud. (al Hajj : 26)
Mereka berdua juga diperintahkan agar membersihkan dan mensucikan Rumah Allah untuk menyambut orang-orang yang hendak shalat, thawaf dan i’tikaf di Baitullah. Setelah Baitullah bersih secara lahir dan batin, maka Allah kembali memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk menyeru berulangkali kepada sekalian manusia untuk menunaikan haji ke Baitullah.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (al Hajj : 27)
Maka beliau setiap kali melakukan perjalanan ke berbagai negeri senantiasa berpesan kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji. Nabi Ibrahim sangat gemar melakukan rihlah atau berkelana. Dari tempat kelahirannya di Babilonia, lalu hijrah ke Ur-Kasdim Kaldania, ke Haran di Syria, Mesir, Palestina, Hijaz dll. Ia menyeru manusia untuk berhaji dan seruannya menembus ruang dan waktu.
Dari abad 18 SM hingga saat ini orang-orang sama hadir ke tempat suci memenuhi panggilan Ilahi meski berasal dari tempat yang jauh. Mereka menuju Baitullah di Makkah dengan berjalan kaki, unta, kapal laut hingga pesawat terbang.
Panggilan Alah ini adalah hidayah, seperti hujan yang deras. Yang perlu kita siapkan adalah wadah sebesar mungkin untuk menampung keberkahan air hujan. Ada yang menyiapkan wadah gelas sloki, gayung, ember hingga hanya mencukupi untuk kebutuhannya sendiri. Ada pula yang wadahnya kolam yang besar sedhingga bisa bermanfaat juga bagi oarang lain yang membutuhkan. Wadah tersebut adalah Iman dan kesucian hati kita.
Kewajiban Menunaikan Haji
Sejak Nabi Ibrahim menyerukan panggilan haji hingga abad 6 M, penduduk Arabia masih melestarikan tradisi tersebut. Akan tetapi tata cara ibadah haji yang mereka lakukan sudah melenceng jauh dari apa yang ditetapkan oleh Nabi Ibrahim seperti thawaf dengan telanjang, wuquf tidak di Arafah dll. Mereka juga meletakkan banyak berhala disekitar Ka’bah dan mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala-berhala itu.
Kesesatan tersebut terus berlangsung hingga diutusnya Nabi Muhammad SAW. Pada 8 H, Penutup para nabi dan rasul itu membuka kota Makkah, menghancurkan berhala-berhala, membersihkan Baitullah dari kesyirikan.
Allah menetapkan kewajiban haji melalui firman-Nya:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam. (Ali Imran : 97)
Umat Islam yang memiliki kemampuan (istithoa’ah) diwajibkan menunaikan haji satu kali seumur hidupnya. Seorang muslim yang tidak mengakui kewajiban tersebut, dia kafir dalam arti tidak percaya pada ajaran Islam. Jika mengakui kewajiban haji tapi enggan melaksanakannya maka dia termasuk durhaka. Apabila mencari dalih untuk menunda-nundanya, dia adalah orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah.
Pada 9 H Nabi Muhammad saw memerintahkan umat islam di bawah pimpinan Abu Bakar untuk melaksanakan ibadah haji. Pada kesdempatan itu semua praktik dana tradisi jahiliyah dalam ibadah haji dihapuskan. Nabi saw sendiri baru menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H dalam Haji Wada’. Saat itulah beliau melaksanakan manasik haji sebagaimana diajarkan Allah dahulu kepada leluhurnya, Nabi Ibrahim.
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ
(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. (al Baqarah : 197)
Pelaksanaan ibadah haji yaitu pada bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Adapun puncaknya haji yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah di Arafah. Ritual haji berlanjut dari tanggal 10 Dzulhijjah (hari Nahr) hingga tanggal 13 Dzulhijjah (hari Tasyriq).
Filosofi Haji
- Ibadah Haji Hanya Untuk Allah (lillah)
Jamaah haji ketika telah berniat untuk berangkat ke Tempat Suci harus benar-benar berusaha menuju Allah. Tidak ada lagi di dalam hatinya motivasi yang bersifat duniawi. Haji dan umrah merupakan ibadah spesial yang dituntut agar dilaksanakan karena Allah semata. Ketika mewajibkan haji al Qur’an menyebutkan kata (lillah), Dari ke-lima Rukun Islam, maka hanya ibadah haji yang diberi penekanan seperti ini.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah Karena Allah… (QS. Al Baqarah : 196)
Mengapa haji sangat ditekankan prinsip ikhlas? Jawabnya karena haji itu bisa dilihat oleh orang banyak sehingga rawan tergoda untuk riya’ (pamer dan pamrih). Jamaah haji kadangkala memiliki maksud-maksud tersembunyi. Apalagi gelar haji tentunya bisa meningkatkan status sosial di masyarakat. Oleh sebab itu perlu selalu mawas diri, membersihkan hati dari berbagai motivasi yang bersifat duniawi agar bisa meningkat keikhlasannya dalam beribadah.
Sekiranya dalam proses awal menjalankan haji itu masih belum bisa ikhlas, diharapkan pada fase berikutnya bisa ikhlas. Misalnya ketika membayar di bank masih terbetik rasa pamrih pada selain Allah, hendaknya diusahakan ikhlas ketika melakukan pamitan (tasyakuran). Andaikata saat itu juga masih belum bisa ikhlas maka mulailah ketika melangkahkan kaki dari rumah dan seterusnya. Terakhir, usahakan bahkan paksakanlah untuk ikhlas ketika niat ihram di miqat. Apabila pada titik ini hati masih belum bisa dijernihkan dengan ikhlas, sebaiknya perbanyaklah istighfar memohon ampun kepada Allah, sambil berharap bisa dianugerahi keikhlasan pada amal-amal selanjutnya.
2. Menjadi Tamunya Allah
Jamaah haji adalah para tamu Allah yang diundang melalui seruan Nabi Ibrahim. Sebutan tamu Allah ini dikukuhkan melalui kunjungan fisik dan ruhani ke Ka’bah yang diistilahkan dengan Baitullah / Rumah Allah. Lalu dikuatkan lagi dengan kalimat talbiyah yang dianjurkan agar dikumandangkan saat melaksanakan ibadah haji atau umrah. Labbaika Allahumma labbaika… Kupenuhi panggilanMu Ya Allah, Kupenuhi.
Setiap pengundang tentu menyediakan hidangan untuk tamu yang diundangnya, apalagi jika Sang pengundang Kaya Raya. Hidangan bukan saja disesuaikan dengan kondisi dan selera tamu, tetapi disiapkan sedemikian rupa dan dalam kadar yang memuaskan. Ibarat jamuan makanan, ibadah haji adalah jamuan yang paling lengkap menunya. Semuanya bergizi dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Ada sebagian orang yang takut pergi haji karena merasa dirinya bergelimang dengan dosa, sehingga khawatir jika Allah akan membalasnya ketika di Tanah Suci. Anggapan seperti ini sama sekali tidak benar. Allah adalah sebaik-baik penerima tamu, mustahil ia akan menyia-nyiakan apalagi mencelakai tamunya. Apabila kita datang ke Baitullah dengan dosa setinggi gunung maka ampunan Allah akan menutupi gunung itu. Jika kita berjalan dengan membawa cinta kepada-Nya maka Allah akan berlari dalam menyambut cinta itu.
Sungguh amat menyenangkan, bagi yang bisa menghadiri undangan istimewa dan diposisikan di tempat VIP. Sungguh sangat beruntung siapa yang menghadirinya dan memperoleh kesempatan ‘bertemu langsung dan berjabat tangan’ dengan Pengundang. Puncak jamuan bagi para tamu Allah adalah surga dan mendapat ridha-Nya. Berbahagialah mereka yang mampu berhaji dan mendapatkan haji yang mabrur.
Oleh sebab itu ketika bertekad untuk pergi haji tumbuhkan komitmen untuk taubat dari dosa. Persiapkan diri dengan baik untuk menunaikan ibadah di tanah suci. Sucikan hati untuk memantaskan diri kita hadir di hadapan Ilahi.