Perbincangan tentang nikah siri bukanlah topik baru, namun topik ini selalu menjadi hangat dibicarakan oleh karena pihak yang melaksanakannya adalah orang-orang terkenal, seperti : artis, pengusaha, konglomerat, maupun pejabat. Ditambah pada saat bangsa ini pada waktu itu dihebohkan dengan berita mengenai situs penyedia jasa nikah siri online melalui situs www.nikahsirri.com yang menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Meski pada akhirnya, penyedia jasa nikah siri online yang sekaligus pendiri Partai Ponsel Aris Wahyudi ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada hari Minggu (24/9/2017).
Terkadang kita bertanya-tanya mengapa orang yang mempunyai kemampuan materi dan apalagi mengaku memahami dengan hukum Islam dan hukum positif melakukan nikah siri ? Mengapa tidak menikah secara resmi ?
Perlu dipahami bahwa nikah siri merupakan pernikahan yang tidak dicatatkan oleh Pejabat Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama / Kantor Catatan Sipil. Konsekuensinya adalah pernikahan ini tidak memiliki buku nikah. Dalam hal ini istri siri (wanita) tidak dapat menuntut hak-haknya sebagai istri sebagaimana dimaksud dalam Undang -Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) seperti hak nafkah, nafkah iddah, dan harta bersama / gono-gini.
Dalam Islam khususnya pada zaman Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, pernikahan disebut siri (rahasia) jika dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam. Tetapi dalam perkembangan dalam masyarakat Indonesia, pernikahan siri mempunyai tiga pengertian yakni : Pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
Kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Nikah siri, SAH
Sebenarnya nikah siri maupun tidak nikah siri, sepanjang syarat dan rukun nikah terpenuhi maka pernikahan tersebut sah, baik menurut hukum Islam maupun hukum positif (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pernikahan siri yang dilaksanakan karena urusan nafsu pun tetap dibenarkan oleh Syariat Islam karena justru dengan menikahlah menyalurkan hawa nafsu dibenarkan. Dengan menikah maka suami maupun istri sama-sama mempunyai hak harus dipenuhi dan sama-sama punya tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi pula.
Apabila suami tidak memenuhi tanggung jawabnya terhadap istri seperti hanya menjadikan istri sekedar untuk menyalurkan hawa nafsu semata tanpa menafkahi kebutuhan lahiriahnya maka hal itu bukanlah persoalan nikah siri. Melainkan persoalan akhlak suami yang dzalim terhadap istrinya. Kedzaliman seperti ini tidak hanya terjadi pada pasangan nikah siri, tetapi juga pada pasangan nikah tidak siri atau pasangan monogami.
Permasalahan yang ada pada nikah siri sebenarnya adalah terletak pada pengakuan dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara.
Perlindungan Hukum
Di Indonesia nikah siri ibarat puncak gunung es. Pernikahan siri semakin banyak terjadi dan semakin banyak pula orang yang salah kaprah melaksanakannya. Pernikahan siri sengaja dilakukan hanya sekedar untuk menyalurkan hawa nafsu semata tanpa melaksanakan hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri (diluar kebutuhan biologis). Hal inilah yang mengakibatkan ketidakadilan yang sering dialami oleh istri siri yang pada umumnya menjadi korban ketidakadilan. Mereka ditelantarkan, diceraikan, dan mengalami diskriminasi dalam rumah tangga.
Beberapa faktor yang melandasi maraknya pernikahan siri mulai dari ketidaktahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan pernikahan hingga kondisi ekonomi yang tidak mampu mencatatkan pernikahan ke KUA / Kantor Catatan Sipil. Disamping itu, pernikahan siri juga timbul karena ketidakinginan sepasang kekasih mencatatkan pernikahannya karena takut ketahuan menikah lagi, atau dilakukan oleh pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak ingin ketahuan berpoligami karena dilarang oleh korp PNS.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian, dalam Pasal 2 ayat (2) menyebutkan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya, pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya. Adapun pencatatan perkawinan tidak terintegrasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan tersebut, melainkan terpisah pada klausul pasal yang berbeda yakni Pasal 2 ayat (2), sehingga memiliki pengertian pernikahan menurut agama sah meskipun tidak dicatatkan.
Pentingnya Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum bagi setiap warga negara untuk mentaati dan mematuhi peraturan perundang-undangan sangatlah penting, khususnya bagi perempuan agar lebih cerdas, serta tidak lemah menghadapi bujuk rayu manisnya pernikahan tanpa legalitas negara. Sebagian masyarakat saat ini masih belum memandang pentingnya pencatatan pernikahan ke lembaga pencatat pernikahan. Akibatnya hak dan kewajiban suami / istri tidak terlindung secara hukum. Misalnya masalah kewajiban memberikan nafkah suami kepada istri, pengakuan anak secara legal ketika mengurusi kependudukan dan lain-lain.
Perempuan, dalam hal ini istri siri, menjadi subjek hukum yang tidak memiliki kepastian hukum akibat dari pernikahan siri tersebut. Banyak kasus perceraian secara semena-mena yang dilakukan suami terhadap istri sirinya. Perceraian ini menimbulkan terjadinya penelantaran dan pembiaran terhadap istri siri dan anaknya karena suami pergi tanpa kabar yang jelas. Selain itu, perceraian pada pernikahan siri tidak disertai pemenuhan hak atas harta bersama. Bahkan, istri siri kerap mengalami kekerasan. Kondisi ini menyebabkan pihak perempuan akan sulit mendapatkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Tindakan Tegas Pemerintah
Pemerintah semestinya memiliki kepekaan dan reaktif terhadap Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah berusia 39 (tiga puluh sembilan) tahun ini agar segera direvisi. Pencatatan pernikahan harus menjadi suatu keharusan / kewajiban sebagai bukti otentik dan keabsahan yang diakui oleh negara. Pencatatan inilah akan menjadi payung hukum serta menegaskan hak dan kewajiban pasangan suami dan istri.
Disamping itu, upaya penyadaran kepada perempuan akan hak-hak yang harus dimilikinya terkait peristiwa hukum dalam pernikahan penting digalakkan. Upaya penyadaran ini juga perlu diberikan kepada kaum laki-laki agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pemimpin rumah tangga yang bertanggung jawab. Dengan demikian, kasus-kasus perceraian, penelantaran, pembiaran, dalam pernikahan siri tidak terjadi lagi.