Segala sesuatu boleh Engkau beri dan boleh Engkau ambil kembali,
tapi satu ini ya Tuhanku, satu ini berikan tinggal dalam hatiku, ‘nikmat cinta akan Dikau’
Hari telah mulai sore, dan air guci sudah mulai sangat dingin. September 1950 sudah habis dan sekarang Oktober, telah dekat musim dingin. Ketika aku melalui lorong menuju Masjid Nabawi, orang lain pun telah berduyun pula menuju masjid. Hari telah senja.
Sampai kami di halaman masjid, azan Maghrib pun kedengaran. Ya Allah! Azan Maghrib di Madinah. Lunglai tulangku, ganjil perasaan yang masuk ke dalam sumsum jiwaku. Di menara yang tinggi sekali, “menara putih”, terpasang microphone. Suara muazzin didengar di seluruh Madinah, sampai ke luar tembok dinding kota. Dan dipilih benar rupanya orang yang merdu suaranya. Sehingga seumur hidupku tidaklah dapat kulupakan azan di Madinah.
Saya duduk pada saf yang agak di muka. Di atas permadani tebal yang terhampar beratus helai banyaknya. Kiriman daripada raja-raja dan orang-orang besar Islam. Saya laksana terpaku di tempat dudukku. Dimanakah saya ini? Telah sampai saya rupanya ke masjid yang paling dicintai. Bekas masjid inilah yang telah memancarkan nur kepada seluruh alam, melepaskan manusia daripada gelap gulita kepada terang benderang.
Tidak dapat mataku tetap. Maafkan saya. Saya baru sekali ini datang kemari. Apakah ini? Ini adalah tumpahan rasa cinta dari tiap-tiap orang besar Islam, sebelum pikiran mereka diragukan oleh kemegahan benda. Di dinding penuh berukir ayat-ayat yang ditulis dengan air mas. Indah-indah tulisannya. Dua lapis ayat mengandung hubungan cinta Muhammad dengan umatnya: “Katakan olehmu, Hai Muhammad, Jika sekiranya ayahmu, anakmu, kaum keluargamu dan istrimu dan harta bendamu yang kamu perturun naikkan, dan perniagaan yang kamu takuti ruginya, dan rumah tangga yang kamu senangi, kalau semuanya itu lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya, dan berjuang pada jalan-Nya, maka awaslah semuanya, tunggulah sehingga Allah mendatangkan apa-apa bagi mereka”.
Sebelah kiri, saya lihat tempat mulia itu, tempat istirahat buat selama-lamanya Rasul, Nabi dan junjungan kita, Muhammad saw, dengan dua teman seperjuangannya, Abu Bakar dan Umar. Imam belum lagi tampil ke muka; saf tengah disusun. Maka menjalarlah pandanganku ke sebelah kiri itu, di sana dia. Orang yang kucintai. Orang yang telah dihembuskan namanya ke telingaku sejak sesaat saya keluar dari perut ibuku.
Di sana dia. Seakan-akan melihat dan merenung akan tiap-tiap umatnya yang datang menziarahi dia. Dengan berbagai warna muka dan langgam pakaian dan warna-warni bahasa. Di sana dia, seakan-akan tersenyum melihat orang-orang yang mencintai dia, dan dia pun mencintai mereka pula. Seakan-akan Abu Bakar berdiri di kanannya, dan Umar berdiri di kirinya, dan bibir mereka tersungging senyuman alamat ridha.
Kulihat ke muka, kawan seagamaku dari Turki, Pakistan, bangsaku Indonesia, orang Iraq, dan beberapa orang Tionghoa. Orang Kurdistan, orang Parsi, orang Habsyi. Semuanya bersedia akan menziarahi dia. Nanti akan ditunaikan ziarah itu sehabis sembahyang sebab waktu telah mendesak. Engkau berkata ya Rasulullah, “Barangsiapa yang tidak datang menziarahiku, tandanya telah dingin perhatiannya terhadap diriku”.
Ini saya datang, ya junjungan. Ini saya datang. Demi Tuhan yang telah mengutus engkau dengan kebenaran. Belum pernah dingin hatiku dalam mencintai engkau. Selama hayatku, sepenuh niat nazarku, namun sekali selama hidup saya akan ziarah kepada engkau. Saya seorang diantara ummatmu di tempat yang jauh, yang tatkala kau hidup agaknya tidak engkau sangka akan sampai sejauh itu ajaranmu tersiar, yang percaya dan iman kepada engkau. Inilah saya, ummatmu yang dhaif.
Selesai sembahyang dan berdoa, tafakur beberapa saat lamanya, saya dan teman saya Abdulkarim pergilah ke Raudhah, sembahyang sunnat. “Diantara kuburku dengan mimbarku, adalah sepotong kebun dari surga.” Itulah Raudhah. Sesudah itu haruslah kami pergi ke halaman hadapan kubur yang mulia itu. Masih berdesak malam itu, terlalu banyak orang yang datang, sebondong demi sebondong. Keras suara penunjuk (dalil) mengajarkan doa-doa dan wirid, yang diajarkan kepada orang-orang yang berziarah.
Diantara tauhid dengan syirik itu sangatlah berdekatan. Hanya ilmu jua yang menjadi batasnya. Banyak orang ziarah menangis, melulung, tergarung panjang. Banyak yang menyembah menyimpuh mencium lantai di hadapan kuburan itu. Kalau salah-salah, mungkin sesat.
Tetapi saya, alhamdulillah tidak. Saya cinta dia, sebab dia yang menunjuki saya jalan. Tetapi cintaku kepadanya adalah cinta murid kepada guru, cinta ummat kepada Nabi. Dan himpunan dari semuanya ialah cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah menyebabkan cinta akan rahmatnya dan nikmatnya. Dengan sepenuh hati, kepada orang yang diutusnya, yaitu Muhammad, hambanya dan pesuruhnya. Tapi Tuhan bukan bersyarikat di dalam kekuasaannya, dengan siapa juapun, dan tidak dengan Nabi. Sebab itu, ketika ziarah ke makamnya, saya insyaf akan hal itu.
“Assalamualaika ya Rasulullah. Assalamualaika ya Nabi Allah, Assalamualaika ya Habib Allah.
Assalamualaika. Segala kebahagiaan terlimpah kepadamu, wahai orang yang telah diutus Tuhan ke dunia, buat menyampaikan petunjuk dan agama Tuhan. Buat menunjukkan jalan bakti kepada Zat Maha Kuasa yang menjadikan alam ini. Yang semua bakti ingin hendak menumpahkan bakti kepadanya. Tapi tak tahu jalannya. Lalu engkau tunjukkan jalan itu. Dan telah engkau tunaikan tugas kewajibanmu.
Assalamualaika, Ya Rasulullah. Saya ini adalah salah seorang daripada yang percaya akan seruan itu. Dan saya datang kemari, dengan penuh rasa cinta dan kasih. Saya berdiri sekarang di hadapan pusaramu, agar bertambah kuat hatiku meneruskan hidup. Hidup yang penuh keyakinan akan adanya kebenaran.”
Lalu saya melangkah tiga langkah lagi. Tibalah di tentang kuburan Abu Bakar, khalifahnya dan sahabatnya yang setia. “Assalamualaika, ya khalifata Rasulillah. Assalamualaika, hai manusia utama, yang telah mengakui dan membenarkan akan seruan itu. Yang telah menemani beliau di waktu susah, yang telah menyatakan kesetiaan di waktu sangat menderita, yang tidak beranjak dari samping beliau, di waktu yang segela-gelapnya sekalipun.”
Saya pun melangkah selangkah lagi. Sampailah di tentang pusara Umar bin Khattab, Amirul Mukminin, khalifah beliau yang kedua. “Assalamualaika, Ya Amiral mukminin. Khalifah utama, orang yang kuat gagah berani. Yang tepat pandangannya membedakan yang haq dengan yang batal. Yang mengurbankan segenap kepentingan dirinya sendiri untuk kebahagiaan orang banyak. Yang tidur di atas hamparan rumput padahal kunci kebesaran Arab terpegang di tangannya, yang berbaju hanya dua persalinan, padahal gubernurnya di tempat lain berbaju sutra dewangga.
Assalamualaika, hai pecinta fakir dan miskin. Penyusun negara yang tidak mengenal payah. Moga-moga kiranya sunnah Rasul yang engkau amalkan menjadi suri tauladan bagi hidupku.”
Sesudah ziarah qudum (ziarah baru datang) itu, tanganku diambil oleh Abdulkarim, dan kami pun berangkat. Tidak dapat kugambarkan, bagaimana besar kesan yang tinggal dalam jiwaku sejak malam itu. Saya memohonkan ke hadirat Tuhan moga-moga dia melimpahkan kurnia kemurnian jiwa atas diriku. Saya tidur semalam itu dengan perasaan penuh syukur.
Dan bila waktu subuh telah masuk, kedengaran pula dia kembali, azan yang merdu itu. Suara yang merdu itu menyentakkan daku dari tempat tidurku. Wahai tidak ada satu kekuasaan lain yang dapat menghalangi diriku buat bangun. Saya bangun, dan di bawah kedengaran langkah kaki dan sepatu orang-orang, yang pun sebagai saya, berlomba datang ke masjid.