Februari telah berlalu, di tahun ini pula aku pergi meninggalkan tanah air selama sebulan. Tepatnya di November, jadwalku memperkenalkan karya anak negeri di kancah internasional.
Frankfurt, kota teramat asing bagiku. Aku bersama kesepuluh pemuda dan sepuluh orang lainnya dalam bidang kepenulisan mendapat undangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadiri acara ternama di Negara ini—Frankfurt Book Fair 2020 atau Frankfurter Buchmesse. Duh Gusti padahal aku bukan orang yang lihai dalam menuliskan karya, mengapa aku bisa sampai tempat ini? Langkahku menyamai pemuda yang juga delegasi dari provinsi lainnya.
Pameran buku tertua dan terbesar di dunia. Setelah penghentian akibat serangan kelompok tertentu pada 1949. Nama Frankfurt kembali dalam sejarah pameran buku. Tepatnya saat Jerman mengadakan pameran buku pertama setelah Perang Dunia II. Dan sejak itu pameran buku ini telah berevolusi menjadi pameran buku internasional dengan 2900 acara yang melibatkan penerbit dan penulis lebih 100 negara. Indonesia menjadi tamu kehormatan Frankfrut Book Fair (FBF) 2015.
Tiga hari sebelum acara Frankfurt Book Fair 2020. Kedutaan Besar Indonesia-Jerman mengajak para delegasi untuk menikmati wisata lama di Frankfurt. Ya, rombongan diajak menikmati bangunan tua yang sempat luluh-lantak pada masa Perang Dunia II. Romerberg, yang merupakan alan-alun kota tua Frankfurt. Ramai sekali, karena letaknya yang strategis membuat kawasan ini jadi pilihan tempat utama penyelenggaraan berbagai pameran dan perayaan.
Bangunan utama Romerberg adalah balaikota Frankrut bernama Romer. Balaikota yang dibangun antara abad ke-15 dan 18 dengan gaya arsitektur Gothic. Romerbreg sangat memukau, apalagi tepat di depan Romer ada patung perempuan yang membawa timbangan keadilan. Namanya Air Mancur Keadilan yang mana melambangkan sikap sederhana, harapan dan cinta.
“Kang Fahri bagaimana kabarmu di sana? Oh iya, sekadar mengingatkan tiga hari lagi kamu memperkenalkan sebuah karya dari anak bangsa. Semangat Kang. Jangan lupa sholawatnya!”
Pesan singkat dari inbox facebook kubaca. Aku tersenyum. Riski teman satu kamarku memberi semangat. Ia tahu kalau aku gugup menghadapi semua ini. Entahlah, Frankfurt Book Fair berlaku sebagai ganjaran atau cobaan. Aku menghela napas panjang, lagi-lagi kepulan asap keluar dari mulutku.
***
Perjalanan panjangku baru dimulai, tentang mencari ridho-Nya hingga sampai ke Negeri Hitler. Tepat ketika negeriku sedang bersholawat untuk Sang Baginda Rasul ditengah peliknya zaman. Aku berdiri diantara orang-orang hebat negeri. Mengucapkan salam sebagai toleransi dan mengenalkan hasil karya anak negeri di kancah internasional.
Kini, tibalah waktuku memperkenalkan sebuah karya terbaru anak negeri. Berdiri di panggung diantara ribuan pasang mata. Aku teramat kecil, apalagi umurku terbilang muda diantara yang lain—tujuh belas tahun.
“Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya Rasul Salam ‘Alaika. Ya Habib Salam ‘Alaika, Shalawatullah ‘Alaika…”
Kutatap wajah orang-orang yang kukenal. Seketika wajah bapak, ibu dan Fauziyah terlihat, wajah meneduhkan dari Mbah Kyai dan Riski, wajah-wajah polos dari para santri, lantunan ayat suci yang saban hari didengar, bahkan wejangan dari para guru pun teringat.
“Lebih tepatnya aplikasi ini adalah game yang hanya bisa di gunakan pada android. Sebelum memainkan game ini, teman-teman harus masuk menggunakan e-mail, sebagai syarat pendaftaran, dan akan muncul ‘Selamat Datang’ pada tampilan awal. Game ini lebih mengarah pada pendidikan kreatif seorang anak dan remaja. Untuk dewasa pun juga bisa memainkan permainan ini,”
“Sebenarnya permainan ini menampilkan banyak varian. Namun, karena kurang penyempurnaan, hanya bisa menampilkan dua mata pelajaran. Sejarah bangsa Indonesia dan Bahasa Indonesia. Selanjutnya akan kami perbaharui dengan berbagai macam varian lagi.”
Kakiku bergetar kembali. Aku tak menyangka dapat berbicara lancar di depan ribuan orang Kedua bola mataku berembun. Tepuk tangan dari semua orang seolah meruntuhkan bangunan. Aku kembali tersenyum, menyeka ujung mata tepat maulud tiba.
—Frankfurt, 23 November 2025
***
PROFIL
Amaliya Khamdanah, lahir di Demak, 7 Agustus 1998. Belajar Psikologi di UIN Walisongo Semarang. Karyanya tergabung dalam beberapa buku antologi cerpen dan puisi.