Aku tak pernah berpikiran untuk melanjutkan sekolah ke madrasah aliyah atau pun pondok pesantren. Tidak! Aku hanya mau bersekolah di SMK, bertemu lagi dengan teman-teman SMPku. Bayanganku mengenai madrasah aliyah dan pondok pesantren memang sangat menyeramkan, ditambah lagi isu yang beredar di kalangan siswa SMP adalah penjara suci atau pondok pesantren banyak setannya, dan selalu disiksa dengan hafalan-hafalan.
“Tidak Pak, aku mau melanjutkan ke SMK!” jawabku bersikeras. Rambutku acak-acakan, pakaian osis biru putih penuh dengan warna. Ya, 2023 adalah tahun kelulusanku dari SMP. Dan usai pengumuman kelulusan, teman se-SMP sepakat untuk merayakannya dengan mewarnai seragam.
“Sudah Bapak bilang, pergaulanmu akan rusak jika kamu dilepas!” ujar Bapak tak mau kalah. “Pokoknya Bapak tetap akan memasukkanmu pada pondok pesantren dan melanjutkan sekolah di madrasah aliyah!” lanjut Bapak dengan muka sangarnya. Peci yang ia kenakan pun sedikit miring, aku melihatnya dan sebenarnya menahan tawa. Ah durhaka! Batinku menepi.
“Fahri pondokkan saja di Pondok Pesantren Baiturrahman, Pak, di sana juga ada SMKnya. Mungkin jurusan yang diminati Fahri ada di sana.”
“Tapi Bu, anak remaja sekarang kalau di SMK pergaulannya liar. Apalagi kalau Fah—”
“Iya, Pak, tapi perasaan Ibu lebih mantap kesana. Ketimbang Fahri tak mengenyam sama sekali ilmu pesantren. Ingat pesan eyang kakung sebelum meninggal, Pak.”
Langkahku terhenti, tanpa sengaja kudengar sayup-sayup suara kedua orangtuaku. Mereka membahas masa depanku. Aku masih berdiri di balik pintu. Keduanya masih sibuk berbicara, sedangkan malam semakin larut dalam keheningan.
“Iya aku ingat, Ibu. Eyang kakung pernah berkata ‘Sekolahkan Fahri dan Fauziyah sesuka mereka. Jangan kamu paksakan, yang paling terpenting seorang anak harus memiliki ilmu agama. Setidaknya pernah di pondokkan’ Baiklah, besok akan kuajak Fahri menengok Pondok Pesantren Baiturrahman, siapa tahu Fahri minat melanjutkan kesana.”
Aku melangkah menjauh. Kedua mataku basah. Aku menangis. Di tengah malam seperti ini mereka bukannya tidur, malah membahas masa depanku. Ini hidup siapa? Yang menjalani hidup siapa? Tapi mengapa Bapak dan Ibu benar-benar memikirkan masa depanku yang aku sendiri tak pernah memikirkannya? Ya Allah, ampunilah aku…
***
Setelah tiga hari menjalani Masa Ta’aruf dengan sekolah dan pondok pesantren. Aku resmi menjadi bagian dari Ponpes dan SMK Baiturrahman. Ya, aku di pondokkan oleh kedua orangtuaku, tentu tinggal jauh dari malaikat tanpa sayap yang memikirkan nasib masa depanku. Hari-hari berjalan sulit, penyesuaian diri sangat lama, di tambah pikiran burukku mengenai pondok pesantren masih melekat erat dalam pikiran.
Semuanya sangat berbeda. Pria muda, tua dan anak-anak mengenakan peci hitam, mengenakan sarung setiap harinya. Bahkan perempuan di tempat ini juga kepalanya selalu dibaluti kerudung, baik tua, muda dan anak-anak. Setiap pagi selalu diadakan ngaji kitab bersama warga sekitar, dan sore hari juga diadakan ngaji Qur’an bersama. Lalu saban malam Senin, diadakan sholawatan rutin atau mauludan.
“Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya Rasul Salam ‘Alaika. Ya Habib Salam ‘Alaika, Shalawatullah ‘Alaika…”
Bapak juga bilang, kalau ibu juga alumni dari pondok pesantren ini. Oh iya, pondok pesantren yang kutempati mencari ilmu bukan pondok modern, lebih kepada tradisional atau masyarakat menyebutnya pondok pesantren salaf. Maklum, letaknya pun jauh dari pusat kota. Lambat laun, aku menikmati semua paksaan ini.
Aku mengambil jurusan Teknik Informatika, seperti yang kuinginkan di SMP dulu. Walaupun di peraturan pondok dilarang membawa ponsel atau gadget dalam kelas, tapi hal tersebut tidak berlaku bagi jurusan IT. Benar saja setiap hari selepas sekolah atau mengaji, kupandangi lamat-lamat gadget dan laptop yang ada dihadapanku. Aku merencanakan sesuatu. Ya, sesuatu yang hebat untuk pondok pesantren ini!
“Kang, benerin ponselku yang rusak. Aku gak punya uang untuk ke konter HP.” ujar Riski memberikan ponsel kepadaku. Kulihat mukanya yang lemas, mungkin karena tak berhasil menghidupkan ponsel miliknya.
“Baik, besok akan kubenarkan, Kang.” ujarku mengangguk lantas tersenyum.
Berawal dari pondok pesantren ini pula aku belajar banyak hal. Nah, salah satunya saling membantu dan berbagi. Termasuk membetulkan ponsel bahkan laptop milik guru yang konslet. It’s okay, selama itu baik akan kulakukan!
Oh iya, aku sampai lupa. Di pondok pesantren ini juga aku bertemu seorang guru muda yang ternyata alumni perguruan tinggi ternama di Indonesia. Namanya Pak Setyawan, guru yang paling sabar dan ikhlas. Aku belajar banyak darinya, termasuk membuat sesuatu yang hebat untuk pesantren ini.
Ucapan bapak malam itu tak terbukti. Semakin lama tinggal dan mencari ilmu di penjara suci, semuanya berubah. Bahkan bakatku yang terpendam kini tergali dan sangat jelas. Aku juga senang menulis karya; puisi, cerpen, bahkan artikel, dan Pak Setyawan tak segan-segan membagi ilmunya. Hingga terciptalah ide gila ini. Ya, membuat aplikasi atau semacam game android dengan metode pembelajaran yang kreatif.
***
“Mbah Kiai, sehubungan dengan kedatangan saya kemari, saya mau meminta langsung persetujuan dari Mbah Kiai. Begini, 2 Februari mendatang ada acara Nasional yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka dari itu saya selaku kepala kemenag meninta izin untuk membawa salah satu santri Mbah Kiai untuk turut hadir dan memperkenalkan karyanya yang hebat ini pada negeri. Pripun, Mbah Kiai?”
Deg!
Jantungku berdegub dengan kencang, ruangan seketika menjadi hening. Bahkan alunan khas dari cicak yang biasa bersembunyi dibalik bingkai foto pun ikut terdiam. Kedua bola mataku sepertinya berembun, aku tak mempercayai dengan apa yang kudengar.
“Ehem.” Mbah Kiai berdehem. Aku melihatnya, kedua bola mata Mbah Kiai terlihat berbinar, sorotan matanya pun meneduhkan. “Kalau santriku ini menciptakan hal yang bermanfaat untuk masyarakat, kanapa harus aku kurung? Silakan, Pak Menteri, bawalah santri ini. Lusa atau kapan kah nanti, akan banyak tumbuh santri-santri hebat sepertinya.” tutur Mbah Kiai dengan senyum hangat.
Aku menunduk dalam, hatiku bergetar, bahkan rasanya tangis yang kutahan mendorongku untuk segera menumpahkan.
Februari di tahun 2025, aku memperkenalkan karyaku. Para pejabat negeri pun terkagum-kagum, riuhan tepuk tangan terdengar meruntuhkan atap diakhir ucapan. Aku menangis bahagia.