“Malam ini di negeriku bersholawat, memperingati hari lahir Sang Baginda Rasulullah. Dari Negeri Hitler, aku menyimpan rindu pada bait-bait yang dilantunkan saban malam Senin. Mulutku berkomat-kamit seraya melafalkan bait suci, seperti Malam maulud ini yang akan kukenang, walau jauh dari penjara suci.
Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya Rasul Salam ‘Alaika. Ya Habib Salam ‘Alaika, Shalawatullah ‘Alaika…”
—Frankfurt, Jerman, 23 November 2025
***
Tak seperti sebelumnya kini jantungku berdegub kencang, seperti kuda yang berpacu di lapangan desa dekat pondok pesantren. Langkah kakiku gemetaran, mukaku sedikit pucat karena kedinginan, di tambah udara di Bandar Udara Internasional Frankfurt am Main yang dingin. Sekali berembus, kepulan asap keluar dari mututku. Duh Gusti…
Pandanganku menyapu sekitar, semuanya tampak asing bahkan orang-orangnya pun sangat berbeda. Tinggi, berkulit putih, hidung mancung dan bola mata yang tajam. Lalu dari pakaiannya pun berbeda dengan keseharianku, di Bandar udara ini aku menemukan orang-orang berbaju bebas. Bahkan tanpa penutup kepala sekali pun bagi perempuan. Ah iya, Negara ini bukan mayoritas muslim. Aku mengangguk.
Bus bertuliskan Departements Of Indonesia berhenti. Beberapa orang berkemeja batik lengan panjang lengkap dengan sepatu pantofel keluar dan menghampiri kami yang tengah berdiri—membuat kerumunan—diantara ramainya Bandar udara.
“Assalamu’alaikum!” sapa seorang berkemeja batik biru dengan senyum yang lebar.
“Wa’alaikumsalam, saudaraku!” Kerumunan sementara yang dibuat pun pecah, saling tersenyum lantas berjabat tangan. Bahkan beberapa orang yang satu pesawat denganku saling berpelukan dengan orang-orang berkemeja batik. Aku menyalami, lantas mencium tangan orang berjas hitam satu persatu.
Wewangian bus menyerbak, di tambah AC dalam bus yang dingin. Aku kembali gemetaran. Ayolah ojo ndeso koyok ngene![1] Batinku menguatkan. Segera kuempaskan tubuhku pada salah satu kursi paling belakang. Seseorang mendapatiku lantas tersenyum simpul. Aku membalasnya.
***
“Kang Fahri!” teriak seorang laki-laki berpeci hitam polos, pelipisya penuh keringat. Langkahku terhenti disebuah lorong penghubung antara asrama putra dan gedung madrasah. “Sampeyan, dicari Mbah Kiai!” lanjutnya dengan suara yang belum stabil, napasnya masih terdengar ngos-ngosan. Seketika kedua bola mataku membulat, tak mempercayainya.
“Kok Mbah Kiai cari aku, Ris? Seingatku tak ada kesalahan yang kuperbuat seminggu ini.” balasaku sambil mengingat. Bahkan dahiku yang awalnya tak berkeringat pun kini berkeringat.
“Entahlah, Kang. Yowes, aku ngaji dulu ya. Soalnya aku sudah telat masuk. Assalamu’alaikum!” lelaki perpeci hitam kembali berlari melewati lorong penghubung. Sedangkan aku masih terperangan dengan mata yang membulat. Duh Gusti, hukuman apa yang harus kutanggung sore ini…
Langkahku gemetaran. Baju koko berwarna putih pemberian ibu basah karena keringat. Aku menyeka dahi berulang kali. Sungguh, hal yang menakutkan akan segera menimpaku. Pasalnya kalau seorang santri mendapat panggilan untuk sowan[2] ke ruang Mbah Kiai ada dua kemungkinan yang terjadi; baik dan buruk. Namun, kemungkinan baik jarang menghampiri santri, dan yang lebih sering terjadi adalah kemungkinan-kemungkinan buruknya. Duh Gusti…
“Assalamu’alaikum…” ucapku setelah sampai di depan pintu ruang ngaji Mbah Kiai. Kuketuk perlahan dan sesopan mungkin.
“Wa’alaikumsalam. Kamu kah itu, Nak?” suara serak Mbah Kiai menyeruak dari dalam ruangan, “masuklah, pintu tidak dikunci.” Suara serak Mbah Kiai kembali terdengar pelan. Kubuka perlahan daun pintu, langkahku ketakutan setengah mati. Ya Allah, kalau aku mendapat hukuman seminggu harus ditaruh mana muka Bapak dan Ibu yang telah memondokkanku! Batinku. Langkahku sangat pelan, mukaku menunduk malu. Kulangkahkan kaki mendekat Mbah Kiai, lalu mencium tangannya yang sudah keriput dan dua orang berjas hitam lengkap dengan peci Soekarno.
“Silakan duduk, Nak.” ucapnya lagi diiringi senyum yang mengembang. Mbah Kyai sudah sepuh, umurnya hampir menginjak delapan puluh tahun. Tetapi, senyumannya masih terasa muda bahkan wejangannya setiap malam Jum’at di Masjid Baiturrahman sangat membara.
Aku mengangguk, lantas menuruti perintah Mbah Kiai. Dua orang yang tengah duduk di sofa seberang menatapku lantas tersenyum. Begitu juga Mbah Kiai, tak ada guratan amarah dalam wajahnya sore ini. Aku menghela napas panjang. Duh Gusti, bukankan lelaki di hadapanku adalah Pak Menteri Agama? Kok beliau…
“Nah, Pak Menteri, ini murid yang saya ceritakan tadi. Dia kelas sebelas madrasah kejuruan jurusan teknik informatika.” Mbah Kiai mulai bercerita. Sedangkan aku hanya menunduk malu. Piye sih, Mbah Kiai, kok malah memperkenalkanku pada Pak Menteri? Apa mungkin aku mau dipenjara karena diduga melakukan korupsi waktu ngaji sore ini? Duh Gusti, paring jembar pikiranku…
“Namanya Muhammad Fahri Ar-Rasyid. Tahun lalu, Fahri berhasil mewakilkan santri se-Jawa Tengah dalam Kongres Hari Santri Nasional di Jakarta. Ditambah prestasi lainnya yang juga diraih dalam kurun waktu dua bulan terakhir.” Mbah Kiai melihatku lantas tersenyum hangat. Aku hanya mengangguk melihat dua orang yang tak lain adalah Pak Menteri dan bawahannya. Mata kami saling bertemu, seutas senyum terukir dari Pak Menteri. Aku membalasnya.
“Sepertinya santri Mbah Kiai sangat malu-malu,” jawab Pak Menteri yang masih memandangiku dengan senyuman. “Kok jadi keingat waktu nyantri dulu ya, Mbah Kiai.” tuturnya lagi lalu tertawa. Mbah Kiai dan satu orang yang tak kukenal juga tertawa sesekali melihatku yang semakin kikuk di antara tokoh pemuka agama.
“Berita mengenai aplikasi yang kamu buat sudah sampai di telingaku, Nak.” ucap Pak Menteri setelah tertawa. Kulihat kedua bola matanya berkaca-kaca, lengkungan senyum selalu ada disela-sela ucapannya. Aku menunduk dan mendengarkan dengan takzim.
Salah satu unggah-ungguh santri kepada yang lebih tua adalah dengan menundukkan kepala ketika orang yang lebih tua berbicara. Tepatnya adalah penghormatan dari yang muda untuk orangtua.
“Tak kusangka seorang santri sepertimu hebat dan handal. Bahkan kalau dikembangkan lagi, kamu bisa seperti Steve Jobs bahkan lebih, Nak.” tuturnya lagi dengan senyum yang mengembang. Aku mengangguk. “Ternyata letak pondok pesantren yang berada di plosok tak membuatmu berhenti berkarya, malah setara dengan anak SMA dan SMK. Saya sebagai Menteri Agama sangat mengapresiasi hasil karyamu, Nak.” tambahnya lagi. Aku kembali mengangguk.
“Mbah Kiai saja tidak paham betul aplikasi yang kamu buat, Nak. Sepertinya para guru dan kiai lainnya lebih paham. Maklumlah, Mbah Kiai sudah lama tidak pegang gadget. Haha.” celetuk Mbah Kiai dengan tawa, gigi-gigi yang tak lagi utuh terlihat jelas. Kami tertawa.
“Zamannya sudah beda, Mbah Kiai,” sambung Pak Menteri. Tangan kanannya telah memegang gadget, kulihat sekilas aplikasi isengan dengan logo biru dan hijau disudut kanan disentuhnya. “Lebih tepatnya aplikasimu adalah permainan, bukan?” tanya Pak Menteri lagi.
*** Bersambung…
[1] Ayolah, jangan kampungan kayak gini!
[2] Datang.