Husein adalah seorang petani yang tinggal di sebuah desa. Ketika ia menikahi perempuan muda dari desanya, Dua cendekiawan pengembara menghadiri pesta pernikahannya. Mereka berdua mulai berdiskusi tentang tafsir Al Qur’an, fiqih, filsafat, hingga sejarah Islam sambil mengutip berbagai karya ulama terkemuka. Husein terpesona mendengarkan perbincangan mereka. Ia sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Mendadak hasratnya berkobar-kobar untuk belajar dan menjadi cendekia.
Husein menghabiskan malam pertamanya bersama sang istri. Saat bangun keesokan harinya, ia minta ijin pergi ke kota untuk belajar dan menjadi cendekia. Sejak hari itu ia dikenal warga desanya sebagai Husein si gila, pria yang meninggalkan istrinya yang masih muda dan cantik untuk pergi jauh demi menuntut ilmu.
Setelah puas selama 20 tahun mendalami berbagai ilmu di kota, Husein memutuskan untuk pulang ke desa. Ia merasa kangen, ingin berjumpa istri, ortu dan teman-teman lamanya. Setelah perjalanan yang panjang, ia tiba di sebuah kampung yang jaraknya satu hari perjalanan dari desanya. Seorang petani di sana menawarinya bermalam. Setelah makan malam, si Petani menanyakan perihalnya. Husein bercerita dengan bangga bahwa ia baru saja menyelesaikan studi selama 20 tahun pada beberapa cendekiawan terkemuka di kota.
Si petani bertanya, ”Kalau begitu, tolong beritahu aku, apa awal kebijaksanaan?”. Husein dengan Percaya Diri menjawab, ”Para alim mengatakan, awal kebijaksanaan adalah percaya kepada Tuhan”. Si Petani berujar, ”bukan itu jawaban yang benar”. Husein bertanya, “bagaimana kamu tahu jawabannya tidak benar?, bukankah saya sudah mengutip berbagai pendapat pemikir dan cendekiawan tersohor”. “Apa saja yang kau pelajari selama 20 tahun kemarin, menjawab pertanyaan seperti itu saja tidak bisa”, kata petani ketus. ”Aku bisa mengajarimu tentang awal kebijaksanaan, tapi itu makan waktu setahun lamanya”, tukasnya.
Husein yakin, si petani benar-benar tahu jawabannya sehingga ia setuju menghabiskan satu tahun belajar dengannya. Keesokan paginya si petani mengajak Husein bekerja di ladang. Awalnya Husein protes, “katanya kita akan belajar?”. ”Beginilah cara kita belajar”, jawab petani. Mereka lantas bekerja di ladang sepanjang hari, malam harinya Husein merasa sangat letih sehingga ia langsung tidur. Itu berlangsung selama berhari-hari, Husein tidak punya waktu atau energi untuk bicara tentang filsafat, ilmu atau kebijaksanaan.
Bulan demi bulan, mereka bekerja keras di ladang. Suatu hari Husein menyadari, satu tahun sudah terlewati sejak ia pertama kali singgah di kampung itu. Dia pun bertanya kepada petani, “Aku sudah bekerja siang dan malam untukmu selama setahun penuh. Sekarang sampaikan padaku, apa sesungguhnya awal kebijaksanaan?”. Si Petani menjawab, ”Besok kau akan pergi, saat itulah aku akan menyampaikan jawabannya”.
Keesokan paginya setelah berkemas-kemas, Husein kembali menanyakan, ”Aku masih menunggu jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan padaku setahun silam, Apakah awal kebijaksanaan?”. Si Petani hanya berujar, “Awal kebijaksanaan adalah kesabaran”. Husein berteriak, ”Apa..?! Kau membuatku bekerja untukmu seperti budak setahun penuh hanya untuk jawaban sederhana itu? Kenapa tidak kau sampaikan saja setahun yang lalu?”. ”Aku bisa saja memberikan jawabannya, tetapi sepanjang tahun ini kau punya banyak kesempatan untuk memahami kesabaran. Jelaslah, kau masih belum mengerti pelajaran ini. Tapi sudah lumayan lah.., bisa jadi saat ini kau sudah mulai memasuki awal pemahaman”. Husein akhirnya minta pamit sambil mendongkol, ia merasa diperdaya selama setahun tanpa mendapatkan ilmu apa-apa.
Di ujung hari itu, Husein akhirnya sampai di kampung halaman. Matahari baru saja terbenam ketika ia sampai di dekat rumahnya. Tiba-tiba ia terperanjat, ia melihat di beranda rumah duduk istrinya bersama seorang lelaki. Setelah 21 tahun mengembara, inilah pertama kalinya ia melihat istrinya lagi. Namun, ia lihat istrinya sedang duduk di kursi sambil mengelus-elus kepala seorang pria muda berwajah tampan. Amarah Husein yang dibakar cemburu naik menyesaki dadanya, ia segera mencabut belati yang terselip di pinggangnya dan siap-siap berlari untuk menghabisi kedua orang itu. Tiba-tiba terlintas dipikirannya wajah dan kata-kata si petani, Ia berkata pada dirinya, ”Bersabarlah, aku baru saja menghabiskan waktu setahun untuk belajar kesabaran. Mungkin tidak seharusnya aku bereaksi terlalu cepat”. Maka, ia menyarungkan kembali belatinya, dan berjalan dengan gontai menuju masjid untuk sholat Isya’.
Setelah mengambil wudhu dan sholat sunnah, Husein menghampiri merbot yang tengah duduk-duduk di serambi masjid. Ia bertanya tentang kabar kedua orang tuanya. ”Maksudmu orang tua si Husein gila itu?”, jawab merbot,” Ia sudah meningal bertahun-tahun yang lampau”. Husein menangis sedih, Merbot masjid yang tidak mengenalinya segera beranjak, ”Saya mau iqamah dulu, itu imamnya sudah datang”. Pria muda tampan yang dilihat Husein di rumah istrinya berjalan mendekati masjid. “Siapa pria itu?”, tanya Husein. “Itu Jamal, anak si Husein gila”, tukas merbot sambil berdiri meninggalkannya.
Usai shalat isya, sambil bercucuran air mata Husein menciumi tangan, kening dan rambut sang imam. Malam itu juga, segera ia meninggalkan masjid desanya dan pergi ke kampung si petani yang baru saja ditinggalkannya. Ia berlutut dan membungkuk ke arah si petani sambil berseru, “terimakasih guruku, Kau sudah selamatkan hidupku dan hidup keluargaku…”.