وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
…Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (Al Baqarah : 279)
Ayat yang berbicara tentang riba ini termasuk ayat-ayat yang turun di akhir masa kenabian. 14 ayat yang mendahuluinya mendorong umat islam untuk berinfaq, mengeluarkan harta secara ikhlas untuk tujuan sosial. Antitesisnya yaitu praktik riba yang justru memanfaatkan kelemahan ekonomi pihak lain untuk meraih keuntungan pribadi secara keji. Praktik inilah yang dikecam keras oleh Nabi: pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan, pencatatnya dan dua orang saksinya.”Mereka semua itu sama”(di Neraka) (HR. Muslim)
Menurut Abdullah Saeed, لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْdan لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ menjadi dasar pemikiran (rationale) larangan riba yang bersifat interdependent. Penafsiran tradisional (literal) hanya menekankan pada frase pertama saja (bagimu pokok hartamu), sehingga mendistorsi makna yang dikehendaki al Qur’an terkait dengan rationale yang ke-dua (tidak menganiaya/bertindak zalim). Seperti yang disampaikan oleh Razi: “Pelarangan riba harus dianggap sebagai sesuatu yang qath’iy meskipun kita tidak memahami rationale-nya”, karena itu manusia tinggal mematuhinya saja. Sebaliknya Rashid Ridha menyatakan bahwa riba mengandung ketidakadilan dan eksploitasi kesulitan saudaranya secara zalim sehingga dilarang agama. Ibnu Qayyim, dari madzhab Hambali juga memformulasikan pandangan yang serupa.
Kajian riba di dalam hadits yang menjadi dasar perdebatan hukum cenderung fokus pada makna riba secara literal (penambahan pokok modal pinjaman) dan seputar jenis transaksi apa saja yang masuk kategori riba. Hanya sedikit kajian tafsir dan kitab fiqih yang membahas tentang pemikiran (landasan moral) di balik pelarangan atas praktik riba, karena dianggap sudah jelas sehingga tidak memerlukan elaborasi atau dipinggirkan dari perdebatan. Pengabaian ini terus terjadi meskipun faktanya Al Qur’an menyatakan bahwa riba dekat dengan praktik ketidakadilan dan kezaliman.
Perdebatan riba di era modern melibatkan rationale ke-2, sebagai tanggapan atas perubahan konteks dan dominasi pelbagai bentuk keuangan dan perbankan yang baru. Fazlur Rahman, Muhammad Asad dan Abdullah Yusuf Ali, menekankan aspek moral sebagai dasar pelarangan riba, yaitu untuk melindungi kaum miskin yang lemah secara ekonomi dari eksploitasi. Mereka menyisihkan bentuk hukum riba seperti pada kredit ekonomi, produk perbankan dan keuangan modern ke posisi sekunder. Kaum modernis ini mendapat dukungan argumennya dari karya-karya ulama seperti Razi, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Taimiyah. Razi menyampaikan salah satu alasan pelarangan riba yaitu menyebabkan orang kaya mengambil harta tambahan dari si miskin yang tertindas. Ibnu Qayyim juga mengaitkan larangan riba dari aspek-aspek moralnya, dengan merujuk pada praktik riba pra islam.
Terkait dengan bunga bank (interest). Ulama-ulama fiqih madzhab Hanafi dan Hambali (khususnya Ibnu Taimiyah) berpandangan bahwa nilai awal hutang harus dilunasi dalam nilai baru ketika jatuh tempo yang boleh jadi nilainya telah berubah. Dalam konteks saat ini Qureishi (Ulama Pakistan) mempertimbangkan perbedaan nilai mata uang dan kondisi transaksi modern. Pelunasan pinjaman dengan nilai uang (pada saat jatuh tempo) harus setara dengan nilai pinjaman di awal.
Pakar Hukum islam Mesir, Abd Razaq Sanhuri, berpendapat bunga berganda (compound interest) hukumnya haram. Sedangkan bunga dalam jumlah sedikit atau dalam batas-batas yang telah ditetapkan adalah diperbolehkan apabila ada kebutuhan (hajat). Pendapat ini didukung oleh Yusuf Al Qaradhawi, Ulama’ Mesir ini membedakan bunga pada hutang konsumtif (haram) sedangkan hutang produktif (halal). Pakar lain, Ibrahim Zaki Badawi berpendapat pelarangan riba yang ketat seharusnya berlaku pada praktik seperti riba pra islam, dimana ada peningkatan pokok pinjaman pada periode aktualnya untuk menerima pinjaman baru. Abdul Aziz Jawish (Ulama Mesir) menambahkan, riba haram ketika bunganya sama dengan jumlah pokoknya atau lebih. Pendapat ini ditetapkan menjadi hukum perdata di Mesir.
Mufti Mesir, Sayid Muhammad Tanthawi cenderung memperbolehkan deposito dalam berbagai bentuknya, walaupun dengan penentuan bunga terlebih dahulu. Justru hal ini dapat menghalangi timbulnya perselisihan dan penipuan di kemudian hari, selain itu penentuan bunga bank setelah perhitungan yang teliti dan terlaksana antara nasabah dengan bank atas dasar kerelaan. Tabungan/deposito juga merupakan salah satu pilar utama pembangunan ekonomi secara khusus dan pembangunan nasional secara umum, yang manfaatnya kembali kepada seluruh masyarakat.
Tafsir modern perlu menggunakan pemahaman akan konteks praktik riba di jaman pra Islam dan konteks modern untuk mengidentifikasi jenis-jenis bunga seperti apa yang diharamkan atau mana yang bisa mendatangkan manfaat. Konteks modern sudah sangat berubah khususnya dalam aspek keuangan. Sehingga diperlukan upaya peninjauan kembali larangan Al Qur’an terhadap praktik riba, demi secara tepat mengidentifikasi apa yang sebenarnya dilarang, menentukan dasar pemikiran bagi pelarangan tersebut, dan mengaplikasikannya dengan tepat di masa modern.
Riba yang dilarang Al Qur’an fokus pada usaha melindungi kaum miskin dari eksploitasi. Sedangkan saat ini, Hutang tidak dikaitkan dengan kemiskinan. Setidaknya di beberapa kondisi ekonomi, pendapatan individu relatif stabil untuk bisa melunasi hutangnya. Kadangkala hutang juga dilakukan dalam skala besar untuk keperluan usaha. Berbagai produk hukum juga telah ada di banyak negara demi melindungi para debitur, khususnya peminjam skala kecil yang tidak bisa melunasi hutang tepat pada waktunya. Perbedaan kondisi debitur modern dan pra islam (jahiliyah) seharusnya tidak boleh diabaikan jika kajian serius masalah riba akan dilakukan.
Meski demikian tetap masih belum ada kesepakatan diantara ulama terkait hukum bunga bank. Pada tahun 1976, Syaikh Muhammad Faraj As Sanhuri mengadakan diskusi berbobot tentang bunga deposito bank yang dihadiri oleh 14 ulama terkemuka di seluruh dunia yang mewakili 4 madzhab Sunni. Hingga akhir diskusi ternyata tidak bisa mendapatkan kata sepakat, 4 ulama berpendapat haram, 9 membolehkan, 1 belum bisa memastikan pendapatnya. Keputusan Muktamar NU, Munas Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 1957 di Surabaya memutuskan tiga pendapat (qaul) hukum di bidang permasalahan ini, yaitu: 1. Haram; 2. Halal; 3. Syubhat.
Perbedaan pendapat para pemimpin/ulama adalah merupakan rahmat. Orang banyak (awam) jadi memiliki kemudahan dan ketenangan untuk memilih salah satu opsi yang paling dirasa mantap di hatinya. Perlu dikembangkan sikap kedewasaan (demokratis) dalam menyikapi perbedaan. Mengutip petuah KH. Mustofa Bisri (Gus Mus): “Perbedaan pendapat itu tidak meresahkan, yang meresahkan adalah anggapan bahwa berbeda pendapat adalah dosa”. Wallahu a’lam…
Sebelumnya << Ayat – Ayat Riba Next >> Ekonomi Syariat…
Referensi:
- M. Quraish Shihab, 2011, Tafsir Al Misbah : Pesan-Kesan-dan Keserasian Al Qur’an, cetakan IV, Lentera Hati, Ciputat-Tangerang
- Abdullah Saeed, 2016, Al Qur’an Abad 21 : Tafsir Kontekstual, trj. Ervan N, Mizan Pustaka, Bandung
- Ahmad Zahro, 2017, Fiqih Kontemporer (Buku 3), Qaf Media Kreativa, Surabaya
- M. Quraish Shihab, 2010, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, cetakan IX, Lentera Hati, Ciputat-Tangerang
- Yusuf Qardhawi, 2003, Halal Haram dalam Islam, cetakan 3, trj.Wahid dkk, Era Intermedia, Solo
- A. Mustofa Bisri, 2005, Fiqih Keseharian Gus Mus, Khalista, Surabaya