Syekh Junaid al-Baghdadi memiliki nama lengkap yaitu Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Sujaj al-Nahawandi. Dan lebih populer dengan panggilan al-Junaid al-Baghdadi, terkadang juga dipanggil al—Junaid saja. Lahir di Kota Baghdad, Persia. Menurut Abdel Kader, Syekh Junaid lahir sekitar tahun 210 H dan meninggal pada hari Jum’at 298 H/910 M dan dimakamkan di dekat makam pamannya sekaligus gurunya yaitu Sari al-Saqati di Baghdad.
Gelar al-Nahawandi ia dapatkan dari keturunan nenek moyangnya yang tinggal di kota Nihawand. Kota dimana penuh kesuburan pada waktu itu, karena banyak memiliki lahan pertanian. Syekh Junaid berasal dari keluarga yang berlatar belakang pedagang, hal ini selaras dengan gelar yang dimiliki anggota keluarganya. Seperti, ayah beliau di panggil dengan al-Qawariri yaitu pedagang barang pecah belah (kaca), kemudian pamannya Sari al-Saqati yaitu sebagai penjual rempah-rempah, serta beliau sendiri dengan gelar al-Khazzaz yaitu penjual sutra.
Latar Sejarah Hidup
Syekh Junaid mendapatkan ilmu (pendidikan) awal dari paman dari ibunya, yaitu Abu al-Hasan Sari al-Mughallis al-Saqati. Ketika bersama beliau Syekh Junaid belajar ilmu agama. Beliau adalah salah seorang sufi yang terkenal di Kota Baghdad. Cara beliau menyampaikan ilmu yaitu sama seperti pada umumnya ketika mengajari Syekh Junaid yaitu dengan diskusi atau tanya jawab. Pada usia ke 20 Syekh Junaid belajar hadist dan fiqih kepada Abu Tsawr. Dari beliau Syekh Junaid menjadi seorang fakih yang cerdas serta membuat gurunya kagum atas kecerdasan dan menganalisa ketika mengulas berbagai masalah. Bagi Syekh Junaid, pengetahuan dan kemampuan dalam menguasai ilmu fiqih merupakan pondasi yang harus dimiliki untuk mendalami dan menguasai ilmu tasawuf.
Setelah belajar ilmu fiqih, Syekh Junaid kembali mempelajari dan menekuni ilmu tasawuf. Sebelumnya belajar tasawuf kepada pamannya, beliau belajar kepada Abu Ja’far Muhammad ibn Ali al-Qassab. Cara belajarnya pun sama dengan apa yang diajarkan oleh pamannya dalam menyampaikan ilmu yaitu lebih kedalam tanya jawab atau hanya dilakukan didalam ruangan atau kelas. Ditengah belajar dari Abu Ja’far Syekh Junaidi juga belajar ilmu tasawuf pada Abu abd Allah al-Harist ibn Asad al-Muhasibi, seorang keturunan arab yang lahir di kota Basrah. Seorang guru tersebut dikenal dengan sebutan al-Muhasibi, pada beliau Syekh Junaid mengalami cara belajar yang berbeda dari guru-guru tasawuf sebelumnya. Syekh Junaidi diajarkan untuk meninggalkan rumahnya untuk menyaksikan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, hal tersebut membuat beliau mengalami pengalaman baru setelah sebelumnya yang hanya belajar di dalam rumahnya atau kelas. Selain itu, dari al-Muhasibi jika disimpulkan beliau mendapat ilmu tentang cara hidup yang tidak menjahui keduniawian tetapi tidak juga hidup dalam kemewahan.
Kehidupan imam Junaid, disamping sebagai seorang sufi juga sebagai seorang pedagang. Beliau meneruskan usaha ayahnya, yaitu sebagai pedagang barang pecah-belah di pasar tradisional. Setelah selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari-semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Walaupun diberi karunia harta yang banyak, tetapi gaya hidupnya jauh dari kemewahan. Sebagian besar kekayaannya disumbangkan kepada orang-orang sufí yang miskin atau digunakan untuk menjamu kawan-kawannya. Dia adalah sufí yang zuhud, tetapi dia tidak membuat hidupnya terlalu sederhana dan menjauhi kehidupan yang enak. Dia tidak menyenangi politik, apalagi terjun ke dunia tersebut. Dia hidup menyibukkan diri dengan memanjangkan ṣalat, memperbanyak puasa, dan sangat senang membaca al-Qur’an.
Karya Beliau
Ajaran tasawuf al-Junaid berpusat pada konsep khauf, dan raja’. Takut (khauf) membuat qabid (rasa kecut/susah/sempit). Harap (raja’) kepada-Nya membuat menjadi basit (lapang/luas). Al-Junaid berkata: “Jika Allah membuat qabid dan khauf, maka hancurlah eksistensi kemanusiaanku, dan apabila Allah membuat basit dan raja’ maka Allah mengembalikan eksistensi kemanusiaanku.
Sikap hidup zuhud dan fakir adalah jalan yang ditempuh oleh al-Junaid dalam laku tasawufnya. Sebagaimana disampaikan oleh Sa’id Hawwa yang mengutip pernyataan al-Junaid: “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata- kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah bisaa dan kami senangi”.
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan ke’arifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Baginya, orang ‘arif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu. Pemikirannya tentang ma’rifat terbagi menjadi dua, yaitu ma’rifat ta’aruf dan ma’rifat ta’rif. Ma’rifat ta’aruf adalah bahwa Allah Swt. memberitahukan orang banyak akan diri-Nya, dan memberi tahu orang banyak akan hal-hal yang menyerupai diri-Nya. Adapun arti ma’rifat ta’rif adalah Allah memberitahu orang banyak bekas- bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia, kemudian secara halus terjadilah benda-benda menunjukkan kepada orang banyak bahwa mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Swt.
Dalam hal cara untuk memperoleh ma’rifat, al-Junaid mengatakan harus melalui maqāmat dan ahwal. Ma’rifat tidak akan dapat tercapai tanpa pemurnian tauhid. Adapun dasar-dasar ajaran tasawuf al-Junaid adalah sebagai berikut:
- Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik.
- Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan hubungan baik dengan makhluk lain.
- Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi.
- Harus berpegang kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah dengan sesempurna-Nya.
- Seorang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (1) melazimkan ẓikir yang disertai himmah dalam kesadaran penuh, (2) mempertahankan tingkat kegairahan dan semangat yang tinggi, (3) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Junaid membatasi jumlah muridnya, yaitu hanya terbatas 20 orang. Harapan Beliau agar ajaran-ajarannya tidak sampai ke tangan orang awam agar mereka tidak salah menafsirkannya. Walaupun dia sangat hati-hati, murid al-Junaid ada juga yang pernah diadili dan mendapatkan tudingan zindik, yaitu al-Hallaj. Pada saat itu al- Junaid disuruh untuk menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya tersebut. Dalam surat kuasanya, al-Junaid menyampaikan, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menurut hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Corak tasawuf yang dikembangkan oleh al-Junaid al-Baghdadi ini menjadi rujukan bagi ajaran tasawuf di kemudian hari, sehingga muncul komunitas sufí yang mengambil sanad dari beliau. Di kalangan sufí, al-Junaid dinilai sebagai guru awal dan mendapatkan gelar Syaikh atau penghulu kaum sufí.
Referensi :
Imam Junaid Al-Baghdadi, file:///C:/Users/ACER/Downloads/Imam%20Junaid%20Al-Baghdadi%20_%20Biografi%20dan%20Ajaran%20Sufinya%20_%20Universitas%20Islam%20An%20Nur%20Lampung.html
Biografi Syekh Junaid Al-Baghdadi, Biografi Syekh Junaid Al-Baghdadi – Pesantren.ID