Nusantara, sederet kepulauan yang membentang sejauh 5.110 kilometer dari timur ke barat mempunyai sejarah peradaban yang panjang, dan pulau jawa adalah pusat peradaban Nusantara dari zaman ke zaman. Keberlangsungan ummat beragama di Indonesia diawali dengan datangnya Hindu sebagai kepercayaan masyarakat kala itu, tepatnya pada abad pertama masehi. Hindu sangat berkembang pesat di Nusantara beriringan dengan munculnya budha dari jalur perdagangan India-Nusantara.
Berjayanya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara berlangsung dari abad ke abad, menyusul kedatangan agama ISlam dan diikuti agama Kristen. Semua kepercayaan yang masuk di bumi pertiwi mayoritas melalui jalur perdagangan. Banyak teori-teori yang mengungkapkan awal kedatangan islam di Nusantara. Diantara teori yang paling kuat adalah teori Gujarat, para sejarawan meyakini bahwa Islam pertama kali muncul di Indonesia sejak abad ke-13 M/7 H. menurut teori yang dikemukakan oleh J. Pijnapel dari Universitas Leiden Belanda ini bahwa Islam masuk melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh saudagar Gujarat dan berkembang di kota-kota anak benua India. Singkatnya, indikasi yang diteliti oleh sarjana Belanda tersebut adalah ditemukannya batu nisan Sultan Malik As-Saleh di Pasai yang wafat pada tahun 1297 M semakin menguatkan teori kedatangan Islam di bumi Nusantara ini. Namun, diluar dari teori Gujarat tersebut banyak ilmuwan yang mengungkapkan teori-teori lainnya tentang kedatangan islam pertama kali di Indonesia. Setelah kita tahu gambaran kecil tentang awal kedatangan islam di Indonesia, lalu bagaimanakah proses islamisasi orang-orang Nusantara khususnya masyarakat Jawa kala itu, sehingga banyak meninggalkan budaya dan tradisi yang khas yang tidak kita temukan di negara-negara islam di Timur Tengah.
Islamisasi masyarakat Jawa diprakarsai oleh Sultan Fattah yang mendirikan kerajaan Demak, Bukti keberadaanya masih bisa kita lihat yaitu situs sejarah Masjid Agung Demak di Jawa tengah, konon masjid tersebut merupakan tempat yang dibangun Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Sejarah panjang kerajaan Demak dilanjutkan dengan kerajaan Banten, Cirebon, Pajang, kemudian Mataram. Proses islamisasi di tanah Jawa memang tidak seperti cara yang dilakukan para saudagar muslim menyebarkan ajaran Islam di semenanjung Malaka. Walisongo memberikan pengajaran dengan mengkombinasikan antara tuntunan agama dan tradisi masyarakat setempat. Masyarakat Jawa yang pada masa itu masih kental dengan budaya Hindu-Budha yang menjadi tantangan tersendiri oleh Walisongo dalam mengemban misi suci ini. Seperti yang dilakukan kanjeng Sunan Kalijaga, beliau melakukan imitasi dengan melihat kebiasaan masyarakatnya dan kemudian membaur dan membumbui dengan tuntunan agama, contohnya masyarakat Jawa kala itu sangat gemar dengan adu jago (tarung ayam), Sunan Kalijaga mengetahui bahwa kegiatan tersebut bertentangan dengan Islam, tetapi beliau tidak serta merta memberikan dalil kepada mereka bahwa itu dilarang, beliau menantang mereka dengan perjanjian bahwa jika jago milik Sunan Kalijaga ini menang, mereka yang ikut tarung ayam harus mengikuti ajaran Sunan Kalijaga. Secara perlahan mereka mengikuti arahan sunan kalijaga, tentang bagaimana mensucikan diri, mendekat pada Ilahi, serta belajar ilmu sosial dan pemerintahan. Masyarakat Jawa juga menerima Islam dengan jalur pewayangan yang dibawakan Sunan Kalijaga. Cerita-cerita tentang rakyat, kesatria dibumbui dengan ajaran agama. Memang, proses pembentukan Islam di jawa tidak bisa dilakukan secara langsung, harus mengadaptasi dengan budaya dan adat istiadat nenek moyang mereka.
Secara perlahan, ajaran Islam merasuk pada masyarakat Jawa kala itu, mereka diberikan amalan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Salah satu problem mereka dalam mempelajari Islam yaitu ketika menyesuaikan pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang berasal dari bahasa Arab. Mereka mengakui kesulitan tersebut, seperti ketika melafadzkan huruf a’in pada lafadz a’udzubillahi minas syaithonir rajiim, huruf kha’ dan lainnya. Maka, tidak heran jika sampai saat ini banyak orang-orang tua dilingkungan kita masih banyak yang melafadzkan a’in dengan ngain, kha’ dengan ka’ dan lainnya yang sebenarnya hal tersebut tidak perlu kita resahkan.
Lalu apa hakikatnya Islam Jawa yang kita bahas dalam tulisan ini? Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamiin, rahmat bagi seluruh alam. Tentu, siapa saja bisa memeluk islam dengan sukarela, dan hati yang ikhlas. Islam di tanah Jawa datang lebih akhir daripada Hindu dan Budha, keadaan masyarakat saat itu sangat memegang erat ajaran dan tradisi nenek moyang mereka. Islam datang tidak lantas mengubah semua kebiasaan lama mereka dengan ajaran baru, tetapi kehadiran Islam merasuk secara perlahan dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Seperti kisah Sunan Kudus Maulana Ja’far Shoddiq yang melarang ummatnya untuk menyembelih hewan sapi. Ultimatum Sunan Kudus tersebut dilandaskan pada penghormatan ummat islam kepada masyarakat Hindu disekitar wilayah Kudus, hal inipun menjadi salah satu metode dakwah Sunan Kudus dalam menyebarkan syiar Islam. Secara ubudiyah tidak ada bedanya Islam pada umumnya dengan yang kita sebut Islam Jawa, kita sama-sama melakukan penghambaan diri kepada Allah SWT dengan amaliyah yang mungkin cara-caranya sedikit berbeda.
Di kawasan pantura, banyak kegiatan pesta rakyat yang asal-usulnya merupakan ajaran ulama’ Jawa terdahulu. seperti di Demak, Jawa Tengah selalu memperingati bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan perayaan Grebeg Besar, di Kota Semarang juga setiap menjelang bulan Ramadhan masyarakat dengan semarak menyambutnya dengan pesta rakyat Dugder’ran, dan di kawasan selatan pesisir Jawa, di kota Yogyakarta juga meramaikan bulan Maulid dengan menyuguhkan pesta rakyat Sekatenan yang kehadirannya selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Dan yang pasti banyak pesta rakyat lainnya di Nusantara yang sejatinya tujuannya dalam rangka mensyiarkan peringatan-peringatan hari besar Islam kepada masyarakat luas.
Kebiasaan warga Nahdliyyin melakukan acara Tahlilan, Yasiinan, Maulidan sejatinya adalah ritual beragama selayaknya seorang hamba kepada tuhannya. Tahlilan merupakan ritual emosional dengan berdzikir kepada Allah, yang diharapkan mampu menggugah jiwa untuk lebih taqorrub ilallah. Begitupun dengan Maulidan yang dimaksudkan untuk mengenang dan meneladani sifat-sifat Rosulillah Muhammad SAW. Membaca Islam Jawa seharusnya jangan terlalu positifistik, karena akan berujung pada perdebatan yang tidak usai.
Maka, sejatinya kehadiran Islam Jawa maupun Islam Nusantara merupakan sebuah khazanah baru, varian beragama Ummat Islam yang masih merawat tradisi nenek moyang mereka. Tanpa kehadiran Islam budaya lokal seperti ini, agama Islam hanya akan menjadi agama yang kaku dan sulit menerima perbedaan. Islam Jawa adalah garda masuknya orang-orang yang ingin memeluk islam dengan cara-cara yang lunak. Mereka tidak disyaratkan, menjadi muslim harus begini begitu, lancar membaca Al-Qur’an, atau hal-hal lain yang justru membuat keminderan dalam mendekat pada ilahi. Mereka selalu dimotivasi menjadi muslim yang beriman letaknya didalam lubuk hati, sedangkan secara dhahiriyah mereka tidak harus melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka kuasai. Asal tidak menyalahi syari’at secara ilahiyah tentu hal tersebut tidak menjadi masalah yang berarti.
Jadi, adanya Pro-kontra mengenai Islam Nusantara di Negara kita seharusnya tidak menjadi ancaman yang serius bagi originalitas Islam secara global, semestinya kita sebagai generasi muda yang unggul ikut bangga dan memperluas wawasan kita tentang sejarah masuknya Islam di bumi Nusantara dan atas upaya para pendahulu kita yang dengan giat dan gigih dalam mensyi’arkan Islam Rahmatan Lil Alamiin.