Penulis sebagai guru yang berada digarda terdepan dalam hari guru akan memotret sisi lain dalam proses pembelajaran yang terjadi dilapangan berdasarkan fakta yaitu adanya jarak antara guru dan peserta didik. Pemerhati pendidikan Sudharto dalam acara penandatanganan kerjasama Universitas PGRI Jawa Tengah (UPGRIS) dengan Bank Jateng di kampus Sidodadi, pernah menyatakan, relasi antara guru dan siswa tidak lagi dari hati ke hati., Hanya ada lebih banyak daripada formal tanpa ada kedalaman. Kondisi ini sangat jauh berbeda dari beberapa tahun, karena konsentrasi siswa tidak hanya pada guru dalam menyerap ilmu, tetapi ada orang yang menjadi pengalih perhatian yaitu gawai. Itulah yang menjadi hubungan antara siswa dan guru yang paling menjauh.
Dahulu, kompilasi penulis masih menjadi mahasiswa, setelah kuliah selesai akan membahas bersama siswa lain di kelas saat kuliah yang berlangsung tidak difahami. Tidak ada pertemanan yang akan semakin akrab antar mahasiswa. Dosenpun tidak segan dan tidak bisa menyisipkan waktu untuk mahasiswa hubungan dan hubungan baik. Teman-teman pengajar di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Semarang pernah menyatakan “Mahasiswa sekarang banyak invidualis dan tidak kenal dengan satu pelajaran karena faktor dawai. Saat dosen selesai mengajar, mahasiswa asyik dengan dawai masing-masing dan kurang peduli dengan lingkungannya. Permasalahan yang sepele ini akan menjadi bom waktu kedepannya, karena anak-anak adalah penerus estafet bangsa, jika sifat individualis,
Dampak Teknologi dan Solusi Cerdas Gunakan Teknologi
Teknologi memiliki hasil positif dan negatif. Positifnya bagi proses pembelajaran adalah pembelajaran akan semakin mudah dan maju melalui bantuan teknologi. Sedangkan dari sisi negatifnya hubungan antara guru dan anak didik akan semakin jauh. Memang ketika mereka sedang melakukan gawai, namun ada pikiran mereka yang sebelumnya ke hp sebelum belajar pikiran ke hp akan dihinggapi penasaran tentang jawaban balik sms, menunggu jawaban kompilasi posting di fb, tweter, wa, line dan lain-lain.
Sebelum ada gawai, hubungan antara guru dan siswa lebih pada relasi yang dilakukan komunikasi yang akan lebih mudah dan tidak memungkinkan untuk karakter langsung akan juga dapat menyerap ilmu dari gurunya dengan penuh konsentrasi. Hubungan dalam proses belajar, semestinya seperti hubungan batin antara orang dewasa dan anak yang belum dewasa. Inilah yang menjadi cita bersama agar gawai tidak menghilangkan hubungan dekat antara guru dan anak didik. Para praktisi pendidiikan agat duduk bersama kembali hubungan yang hilang karena gawai ini agar bisa dirajut kemnbali dengan tiadak meninggalkan teknologi samasekali.
Mengajari orang kecil, bagaimana siswa lebih mandiri dan kreatif belajar dengan membuat media sendiri dalam bermain dan belajar. Bisa dipastikan anak-anak dahulu pandai dalam membuat laying-layang. Ketika ada tugas dari guru ketrampilan maaka akan dikerjakan mandiri dan cepat tanpa bantuan orang tua. Sekarang, guru bercampur memberikan tugas pada anak, kebebasan yang sibuk membuatkan. Sebuah keterbalikan dalam suatu proses pendidikan. Ada syair lama dan baru yang cukup menggelitik untuk dicermati dalam ini sebagai perbandingan: “Kuambil buluh sebatang, Kupotong sama panjang, Kuraku dan kuikat dengan benang, Kujadikan laying-layang. Kuambil tongsis sebatang, Kutarik sama panjang, Kuangkat dan ku foto ulang-ulang, Foto selfie sama Ayang “. Anak-anak sebelum mandiri membuat media bermain, adakah anak-anak yang menggunakan alat-alat yang sudah dibuat oleh pabrik tanpa kreatif. Era milenium membuat siswa semakin asyik dengaan HP, maka akan menjauhkan hubungan guru dan siswa. Guru, pemerhati pendidikan, mari bersama-sama gerakkan anak-anak agar menggunakan hp sesuai porsinya. Hubungan antara guru tetap akrab.
Menggunakan media sosial tergantung siapa yang menggunakan, yang tepat untuk mensikapi kemajuan TIK. Kalau seseorang bisa menggunakan teknologi dengan baik, tentu saja akan bermanfaat bagi siapa saja yang menggunakan. Di dunia maya akan di temukan informasi apa saja yang kita minta.Sebaliknya, seorang yang tidak bisa menggunakan senjata itu dengan baik, akan membunuh karakter kita. Semoga menjadi renungan.
Ahmad Riyatno, S.Ag, M.Pd.I