Tokoh-tokoh Quraiys bertemu di Dar an-Nadwah, rumah milik Qushai bin Kilab tokoh legendaris mereka, yang sejak 200 tahun silam digunakan sebagai tempat pertemuan penting. Abu Jahal bersama para pemimpin kaum musyrik di situ merencanakan strategi licik untuk membunuh Nabi Muhammad. Mereka bersepakat memilih pemuda terbaik mewakili masing-masing suku sebagai eksekutor. Para pemuda ini harus bersama-sama menyerang Muhammad dengan pukulan yang mematikan sehingga darahnya akan terkena pada semua kabilah. Keluarga Hasyim dan Muthalib tidak akan mampu menuntut balas pada seluruh suku Quraiys, mereka pasti akan rela menerima uang tebusan yang ditawarkan sebagai pengganti balas dendam.
Jibril datang kepada Nabi untuk menyampaikan ijin berhijrah sekaligus memberitahukan apa yang harus dilakukan. Hampir semua Sahabat sudah mendahului pindah ke Yatsrib. Sore hari Nabi menuju ke rumah Abu Bakar untuk mematangkan rencana hijrah, Selesai membuat rencana Nabi kembali ke rumahnya dan memberi tahu Ali tentang keberangkatannya ke Yatsrib. Beliau menyuruh Ali untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua barang-barang titipan selesai dikembalikan pada pemiliknya. Nabi senantiasa dikenal sebagai al-Amin, sehingga dipercaya orang-orang untuk menjaga harta benda mereka.
Perjalanan Hijrah
Pada 27 Shafar tahun 14 kenabian (622 M) di tengah kegelapan malam, Nabi berhasil menyelinap keluar melewati para pembunuh yang mengepung rumahnya. Untuk mengelabui para algojo itu Ali bin Abi Thalib rela mempertaruhkan nyawanya dengan tidur di pembaringan Nabi dan memakai selimut Hadrami yang biasa Beliau kenakan. Nabi bergegas menuju rumah sahabatnya, Abu Bakar yang menunggu-nunggu dengan cemas.
Mereka berdua menaiki unta menuju gua Tsaur yang jaraknya sekitar 4 km ke arah Selatan Masjidil Haram dan berada di jalan menuju Yaman. Gua persembunyian itu tingginya 748 m dari permukaan laut. Dibutuhkan waktu satu setengah jam untuk mendaki ke puncaknya. Jalan menuju gua sangat sempit, terjal dan penuh bebatuan. Ia memiliki dua mulut gua, di sebelah Timur dan Barat. Nabi tiga malam tinggal di gua yang terletak di Misfalah itu, malam jumat hingga malam minggu.
Amir bin Fuhayra, pelayan Abu Bakar membawa dombanya mondar-mandir menyusuri jalan menuju gua Tsaur untuk menghilangkan jejak serta memerah susu gembalaannya untuk dikirim ke tempat persembunyian. Abdullah dan Asma’, putra-putri Abu Bakar tiap tengah malam mengunjungi mereka berdua mengantar makanan sekaligus mengabarkan perkembangan terkini di Kota Makkah. Quraisy telah menawarkan hadiah seratus unta bagi siapa saja yang bisa menangkap Muhammad hidup atau mati.
Serombongan Badui yang ahli mencari jejak dapat melihat sekilas tapak besar kaki onta diantara jejak-jejak kecil yang tidak terhapus. Tergiur oleh tawaran hadiah yang besar mereka memacu kudanya menyusuri jejak tersebut hingga tiba di kaki bukit. Mereka lantas menaiki bukit hingga sampai di mulut gua Tsaur. Salah seorang dari mereka berteriak-teriak menyuruh Nabi keluar dari gua. Ketika itu Abu Bakar sangat cemas dan gelisah, strategi hijrah sudah direncanakan dengan sangat rapi ternyata buyar, dan saat ini nyawa Rasulullah terancam. Nabi menghibur Abu Bakar agar tenang dan berserah diri kepada Allah, sebagaimana direkam dalam Al Qur’an:
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan sakinah-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya [at-Taubah : 40].
Ternyata para pemburu ini bersepakat tidak perlu masuk ke dalam gua karena tidak mungkin ada orang di dalamnya. Mereka lalu berbalik menuruni bukit untuk mencari Muhammad ke tempat yang lain. Ketika derap kaki dan suara mereka mulai menghilang, Nabi dan Abu Bakar pergi ke mulut gua. Ada pohon Akasia setinggi separuh manusia yang malam itu belum ada ternyata tumbuh dan hampir menutupi mulut gua. Di celah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Di bawah sarang itu, di lubang sebuah batu, di tempat seseorang mungkin akan melangkah jika ingin memasuki gua ada seekor merpati telah bersarang seakan-akan sedang mengerami telur-telurnya.
Setelah berlalu hari ketiga, tepatnya pada malam Senin 1 Rabiul Awwal tahun pertama Hijrah, bertepatan dengan 16 September 622 M, Nabi dan Abu Bakar dijemput oleh Abdulah bin Uraiqith. Meski belum beriman Ia orang yang dapat dipercaya menjaga rahasia serta pemandu ulung putra asli padang gurun. Mereka bertiga menuju ke Yatsrib menyusuri rute sulit yang jarang ditempuh oleh para musafir. Pemandu jalan itu mengantar mereka keluar dari Makkah ke Barat dan agak ke Selatan yang mengarah ke Yaman, bukan jalur Utara seperti biasanya. Setelah sampai di laut Merah barulah mereka menyusuri pantai dan berbelok ke arah Yatsrib.
Sejenak sebelum fajar pada hari kedua belas setelah meninggalkan gua, mereka sampai di lembah Aqiq. Mereka terus menaiki bukit hingga sampai di puncaknya pada saat matahari mulai naik dan terik panasnya mulai menyengat. Ketika melihat dataran di bawahnya, Nabi teringat mimpinya, “lahan-lahan subur di antara dua jalur batu-batu hitam” telah membentang di hadapan mereka. Hijaunya pepohonan anggur, kebun serta tanam-tanaman telah tampak kira-kira tiga mil perjalanan kaki dari lereng yang kini mereka turuni. Nabi dan Abu Bakar memasuki kota Quba’, tempat sebagian besar Muhajirin Makkah tinggal pertama kali, beberapa diantara mereka masih tinggal di sana. Bersama penduduk Quba’ mereka telah menanti-nantikan kehadiran Nabi siang dan malam.
Hikmah Peristiwa Hijrah
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab para Sahabat berdiskusi tentang masa yang dijadikan saat untuk memulai perhitungan Tahun Islam. Akhirnya, mereka sepakat menjadikan tahun hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai awal tahun penanggalan Islam karena dalam peristiwa hijrah terdapat nilai-nilai yang dibutuhkan oleh manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Hijrah dipilih sebagai tahun pertama dalam kalender Islam karena beberapa alasan:
- Hijrah adalah upaya mempertahankan akidah, sedang aqidah adalah modal utama hidup.
Nabi Ibrahim berhijrah dari Ur-Kasdim ke Charae di Syria untuk mengesakan Allah (tauhid). Nabi Musa membawa kaumnya hijrah dari Mesir ke Sinai, akhirnya Bani Israel berhasil meraih puncak peradabannya di jaman Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Menurut para sosiolog, semua peradaban besar dari Sumeria hingga Amerika lahir benihnya dari suatu proses hijrah. Para cendekiawan dan kaum puritan Inggris meninggalkan negerinya pindah ke benua baru Amerika dalam rangka menyelamatkan kepercayaan dan keyakinannya. Mereka berhasil memperoleh kebebasan di Amerika, bahkan membangun masyarakat baru dan saat ini menjadi penguasa peradaban dunia.
Nabi Muhammad beserta para sahabatnya yang hijrah dari Makkah ke Madinah juga dalam rangka mempertahankan aqidah tauhid dan agama Islam. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah umat Islam generasi awal hijrah ke wilayah yang jauh di benua Asia, Afrika dan Eropa hingga berhasil meraih puncak masa keemasan dalam peradaban. Kesemuanya itu tumbuh dari benih hijrah, lahir dari upaya mempertahankan prinsip yang mereka anut dan karena itu pula begitu nilai-nilai tersebut mereka abaikan, maka runtuh pula peradaban yang mereka bangun.
- Dalam hijrah ada optimisme, sedang tanpa optimisme hidup menjadi kelam
Sebelum Hijrah ke Madinah, agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhamad seakan hampir habis tanpa ada harapan. Selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah hanya memperoleh sejumlah kecil pengikut, kebanyakan berasal dari kaum yang lemah dan selalu ditindas. Penistaan dan penyiksaan secara fisik tidak hanya dirasakan umat Islam tapi juga dialami sendiri oleh Nabi pasca wafatnya Abu Thalib. Bahkan Nabi harus meminta perlindungan politik dari orang di luar sukunya, yaitu Muth’im bin Adi. Ketika tokoh dari suku Khuzaah itu wafat, Abu Jahal merancang konspirasi untuk membunuh Nabi.
Muhammad saw menghadapi semua kesulitan itu dengan tegar dan sabar. Di tengah semua kebuntuan Nabi tetap optimis akan prospek dakwah agama Islam. Pertolongan dari Allah. Akhirnya peluang emas itu datang melalui bai’ah Aqabah I dan II. Nabi beserta Sahabat mendapatkan lahan subur untuk dakwah Islam di Madinah. Mushab bin Umair dan Amr bin Ummi Maktum menjadi dai yang babat alas mempersiapkan jalan bagi hijrah. Sepuluh tahun kehidupan Nabi di Madinah bertaburkan keberhasilan dan kesuksesan, puncaknya adalah dibukanya Kota Makkah oleh kaum muslimin. Setelah itu penduduk jazirah Arab berbondong-bondong memeluk agama Islam.
- Hijrah menggambarkan perjuangan, sedang hidup adalah perjuangan
وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (al Hajj : 78)
Kata jihad dalam berbagai bentuknya disebut empat puluh kali di dalam al-Qur’an. Maknanya bermuara kepada perjuangan dengan mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan. Jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Caranya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dengan modal yang tersedia. Jihad tidak mengenal putus asa, kata menyerah, bahkan kelesuan, tidak juga pamrih.
Jihad seorang ilmuwan adalah pemanfaatan ilmunya, karyawan adalah karyanya yang baik, guru adalah pendidikannya yang sempurna, pemimpin adalah keadilannya, pengusaha adalah kejujurannya, pemanggul senjata adalah kemerdekaan dan penaklukan musuh yang zalim. Semua jihad apapun bentuknya dan siapapun lawannya baik melawan orang kafir, munafik, setan, hawa nafsu dan selainnya haruslah karena Allah dan tidak boleh berhenti sebelum berhasil atau kehabisan modal, itulah yang dimaksud haqqa jihadih dalam ayat di atas.
- Dalam Hijrah Menghindari sebab-sebab datangnya murka Allah, sehingga datang bencana dan jauh dari pertolongan-Nya
Kota tempat hijrah Nabi yang tadinya bernama Yatsrib yang secara harfiah berarti ‘mengecam’ diubah oleh beliau menjadi al-Madinah yakni ‘tempat peradaban’. Karena tidak mungkin lahir peradaban, bahkan kesuksesan dalam membangun jika anggota masyarakat saling berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, menggunjing, menjelekkan, mengecam, maki-memaki, saling mengolok, dan jegal-menjegal. Murka Allah akan jatuh apabila umat dan masyarakat saling berpecah belah dan rahmat-Nya akan menjauh dari mereka.
Salah satu penyebab bencana adalah perpecahan. Karena itu ketika Nabi sampai di Madinah langkah pertamanya adalah menyatukan seluruh komunitas yang tinggal di Madinah. Untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah Nabi membuat sebuah perjanjian persaudaraan antara muslim yang berhijrah dari Makkah (Muhajirin) dengan warga Madinah yang menampung mereka (Anshar). Ja’far bin Abi Thalib dipersaudarakan dengan Muadz bin Jabal, Abu Bakar dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utban bin Malik, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’d bin al-Rabi’ dan seterusnya. Nabi Muhammad sendiri mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya.
Nabi selanjutnya membuat sebuah perjanjian yang saling menguntungkan antara umat Islam dan warga Yahudi di Madinah. Beliau mengumpulkan mereka dalam satu komunitas orang-orang yang beriman, namun menoleransi berbagai perbedaan antar kedua agama itu. Kaum Muslim dan Yahudi memiliki status yang sama, berkewajiban untuk mewujudkan perdamaian dan bersama-sama dalam melindungi kota dari ancaman yang berasal dari luar. Perjanjian ini dikenal sebagai Piagam Madinah dimana semua agama dan kepercayaan bergandengan tangan untuk membela dan membangun masyarakat.