ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Yunus:58).
Kehadiran Nabi saw merupakan Rahmat terbesar
Yang dimaksud ‘Karunia Allah’ pada ayat di atas adalah Al Qur’an dan ‘Rahmat-Nya’ adalah tuntunan ajaran Al Qur’an. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan الرحمة adalah Nabi Muhammad saw. Dua penjelasan ini bisa difahami mengingat Nabi Muhammad saw adalah ‘Al Qur’an yang hidup’, sebagaimana disampaikan ibunda Aisyah ra ketika ditanya mengenai akhlaq Nabi saw, Beliau menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlaknya adalah al-Qur`ân [HR al-Bukhâri dan Muslim]
Rasul saw adalah rahmat, bukan saja kehadiran beliau membawa ajaran, tetapi sosok dan kepribadiannya adalah rahmat yang dianugerahkan Allah swt kepada beliau. Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi saw sebagaimana sabdanya: “Aku dididik oleh Tuhanku, maka sungguh baik hasil pendidikannya”. Dalam Ayat Al Qur’an ditegaskan:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka… (Ali Imran : 159)
Tidak ditemukan dalam Al Qur’an seorangpun yang dijuluki dengan Rahmat, kecuali Rasulullah saw. Bahkan tidak juga satu makhlukpun disifati dengan sifat ro’uf dan rahiim kecuali Nabi Muhammad saw, Allah berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At Taubah : 128)
Beliau hadir ke dunia ini sebagai rahmat bagi semesta alam
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.“(Al Anbiya:107)
Gembira dan syukur atas kehadiran Nabi saw
Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar bagi umat manusia, sebagaimana telah dijelaskan. Anugerah rahmat dari Allah ini perlu disyukuri sebab Allah menjanjikan limpahan samudera nikmat bagi hambanya yang bisa bersyukur.
Paman Nabi saw, Abbas bin Abdul Mutholib, pernah melihat Abu Lahab dalam mimpinya, Abbas bertanya padanya,”Bagaimana keadaanmu?”. Abu Lahab menjawab, “di neraka, cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku membebaskan budakku, Tsuwaibah, karena gembiraku atas kelahiran Muhammad.” (HR. Bukhari). Ketika mimpi ini diceritakan oleh Abbas kepada Nabi saw, baginda mendengar, menyetujui dan membenarkan kabar tersebut. Jika seorang musyrik dan dedengkot kafir seperti Abu Lahab mendapatkan barakah atas kegembiraanya pada hari kelahiran Nabi saw, apalagi umat islam yang bergembira dan antusias merayakannya dengan penuh kecintaan.
Nabi Muhammad sendiri mensyukuri hari kelahirannya dengan cara berpuasa. Diriwayatkan dari Umar Bin Khattab ra tentang kebiasaan Nabi saw berpuasa di hari senin:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ
Dari Abi Qotadah al-Anshori ra sesungguhnya Rasulullah saw pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah saw menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. (H.R. Muslim).
Ibnu Hajar Al Asqalani, Ulama ahlul hadits abad 15, menggunakan dalil tentang peringatan Asyuro sebagai landasan untuk membolehkan peringatan maulid Nabi saw.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ فَرَأَى الْيَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ: “مَا هَذَا؟ “قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ نَجَى اللهُ فِيْهِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسَى قَالَ: “فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ” فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata, “Ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah saw bertanya, “Hari yang kalian bepuasa ini hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw lantas bersabda, “Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.” Lalu setelah itu Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Bukhori – Muslim)
Beliau mengatakan: “Dari hadits tersebut ada anjuran untuk bersyukur atas nikmat Allah pada hari tertentu, baik itu berupa anugerah maupun bencana. Nikmat manakah kiranya yang lebih besar daripada hadirnya Nabi saw di hari maulid yang mulia itu?”.
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah… (Ali Imran:164)
Jalaluddin As Suyuthi (1445-1505 M), mufasir dan pakar hukum Islam itu memperkuat pendapat Ibnu Hajar, bahwa sunnah itu dapat terjadi dengan Qiyas (analogi), tidak harus berdasarkan adanya dalil Quran dan hadits secara langsung. Syukuran di hari kelahiran Nabi saw yang dikenal dengan ‘maulid’ baru populer empat abad setelah wafatnya Rasul saw. Peringatan itu kemudian dilakukan secara berulang-ulang pada hari yang sama di setiap tahun dan dilestarikan dari generasi ke generasi sebagai sebuah warisan tradisi yang baik. Adapun bentuk kegiatan maulid bisa bermacam-macam ibadah seperti sujud syukur, puasa sunah, sedekah, membaca Al Qur’an, shalawat, syair-syair pujian, pengajian dan lain sebagainya.
Difirmankan dalam Yunus ayat 58, bahwa kegembiraan atas lahirnya Sang rahmat, yakni Muhammad saw, jauh lebih bisa diandalkan dari apa yang kita kumpulkan baik itu berupa harta duniawi maupun ibadah-ibadah kita. Mengapa bisa demikian? marilah bercermin pada diri kita masing-masing. Bukankah amal ibadah yang kita lakukan selama ini sangatlah sedikit?. Kita shalat sehari semalam sekitar 25 menit (5 shalat x @ 5 menit), coba bandingkan dengan tidur kita yang hampir 8 jam. Belum lagi kualitas dari amal ibadah tersebut masih jauh dari sempurna, belum terpenuhi syarat, rukun dan seringkali sunah-sunahnya kita tinggalkan. Seandainya sudah bagus tata cara ibadah yang kita lakukan, seringkali pikiran tidak khusyu’ dan hati kurang ikhlas.
Intinya adalah ibadah kita ini masih banyak sekali cacat dan kekurangannya. Oleh sebab itu kecintaan kita atas Nabi saw yang diungkapkan lewat kegembiraan di hari kelahirannya ini lebih layak untuk diandalkan. Kita berharap dengan merayakan maulid bisa mendapatkan curahan rahmat dan berkah dari Allah swt. Pada gilirannya Allah swt akan mengampuni dosa dan kekurangan-kekurangan kita dalam beribadah.
Selain itu, seandainya Nabi Muhammad saw memandang ke arah kita, dan berkenan memasukkan kita ke dalam jamaah umatnya maka itulah haru gembira yang sesungguhnya…, Allahumma sholli ala sayidina Muhammad.
Referensi:
- Quraish Shihab, 2009, Tafsir Al Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian AL Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, Cetakan V 2012
- Ali Jum’ah, 2012, Bukan Bid’ah, Lentera Hati, Tangerang Selatan
- http://www.muslimoderat.com/2015/12/hujjah-lengkap-peringatan-maulid-nabi.html#ixzz3uCWwvMKA
- http://www.alkhoirot.net/2012/02/hukum-maulid-nabi.html