Konflik di Timur Tengah
Krisis Suriah ibarat kepingan neraka yang diturunkan ke bumi. Warga Suriah 69 % beraliran Suni (60 % Arab dan 9 % Kurdi), 12 % adalah Arab Alawiyyin dimana Bashar Al Ashad termasuk di dalamnya. Demikian rumit peta krisis Suriah ini, melibatkan aktor lokal regional dan global. Iran terus saja memasok senjata kepada Assad dalam rangka berebut hegemoni dengan Saudi di kawasan yang kacau itu. Sektarianisme telah memuncak menjadi krisis kemanusiaan yang akut yang semula dipicu oleh cita-cita kebebasan yang murni melawan rejim otoritarian Al Assad. Perang yang berlangsung 7 tahun ini telah menelan korban tewas 360 ribu jiwa. 5 juta lebih warga Suriah menjadi pengungsi yang terlunta-lunta di berbagai negara.
Arab Saudi, UEA dan Quwait telah menjadi kekuatan kontra revolusi di Mesir, Yaman dan Libia. Kerajaan kaya minyak ini cemas jika bunga api revolusi (Arab Spring) membakar kekuasaan despotik mereka. Banyak bukti menguatkan bahwa intelijen Saudi (Pangeran Sultan bin Bandar sebagai aktor utama) beserta sekutu-sekutunya telah berperan melepaskan monster ISIS. Tapi keganasan dan kebrutalan ISIS ternyata menakutkan serta mengancam para penciptanya sendiri. Koalisi di bawah pimpinan Arab Saudi juga melakukan invasi militer hingga menyebabkan konflik dan krisis kemanusiaan di Yaman. Antara Januari 2016 hingga November 2018 tercatat 3.071 serangan yang menargetkan warga sipil. Dilaporkan 60 ribu korban tewas dalam konflik, angka ini belum termasuk 85 ribu anak-anak yang meninggal akibat kelaparan dalam kurun 3 tahun terakhir.
Sementara itu di Turki, koalisi Erdogan dan Gulen yang pernah berhasil mengalahkan hegemoni militer kini kongsinya berantakan. Keduanya saling menuduh sebagai dalang kudeta yang gagal di Turki (2016). Erdogan menuduh Gulen dan pendukungnya sebagai jaringan teroris dan segera melakukan aksi pembersihan. 160 ribu PNS, tentara, polisi, akademisi dipecat dan 50 ribu orang dipenjara. Turki yang semula diharapkan akan menjadi contoh bagi dunia Islam dalam berdemokrasi, kini terjebak dalam bencana politik yang berbahaya bagi hari depan negara itu. Ironisnya, yang saling berhadapan bukan antara sipil dan militer, melainkan sipil melawan sipil yang sama-sama berasal dari kultur santri. Alangkah sukarnya kaum santri Turki untuk mengembangkan sebuah tradisi lapang dada dalam menyelesaikan perbedaan pandangan.
Padahal dari awal dakwah hingga akhir hidupnya Rasul saw telah mengajarkan sistem demokrasi kepada umat Islam. Beliau adalah pendiri negara, pemikir, dan tokoh masyarakat yang mau duduk bersama dengan para sahabatnya. Jika mereka sudah berkumpul dalam satu majelis, tidak ada lagi perbedaan antara kelompok depan dan belakang. Alhasil semua yang hadir kedudukannya sejajar dengan sang pemimpin. Doktrin kesetaraan ini telah dibenamkan ke bawah abu sejarah oleh para penguasa muslim selama berabad abad, sehingga sebagian kita tidak kenal lagi warisan mulia itu untuk dihidupkan lagi di era modern.
Prospek Demokrasi di Indonesia
Demokrasi pasca Reformasi telah membawa perubahan cukup signifikan di Indonesia. Kebebasan berpolitik, berpendapat dan berekspresi, serta kebebasan pers di negeri ini menjadi lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, Pemilu legislatif yang kompetitif, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, KPU, dan komisi-komisi independen lainnya menunjukkan bahwa sistem politik Indonesia berjalan maju dibandingkan era sebelumnya. Rakyat juga punya akses yang besar untuk memperoleh fasilitas publik dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Meski demikian, masih cukup banyak kritik dan catatan negatif, yaitu: demokrasi Indonesia hanyalah bersifat prosedural, transaksional dan bersifat semu belaka. Hal ini bisa terlihat dari maraknya politik uang, politik dinasti, korupsi di berbagai level negara, tidak seriusnya pemerintah dalam melayani rakyatnya, semakin mahalnya biaya berpolitik, serta masih lemahnya perlindungan negara terhadap kaum minoritas. Pilpres, Pileg hingga Pemilukada prosedurnya memusingkan, menghamburkan uang dan berpotensi konflik tetapi hasilnya sebagian besar tidak memuaskan. Ini terjadi karena partai politik sebagai lokomotif demokrasi telah melalaikan fungsinya yang sangat penting, yakni fungsi kaderisasi untuk menyiapkan SDM yang kompeten, jujur dan amanah. Akibatnya kerja-kerja demokrasi dilakukan oleh orang-orang yang oportunis, hipokrit, serakah, tidak kompeten, tidak berintegritas dan tidak punya komitmen untuk membela rakyat.
20 tahun reformasi ini mengulang apa yang pernah terjadi pada pemilu 1955. Bung Hatta pernah menyampaikan: “Bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti membagi rejeki. Golongan sendiri diutamakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri ditugaskan oleh partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberikan keuntungan bagi partainya, keperluan untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu”. Bangsa ini dalam konteks etika demokrasi tidak mengalami kemajuan yang berarti. Indonesia kini menjadi negara paling liberal tanpa memiliki modal sosial yang dibutuhkan. Munculnya banyak partai, pasar bebas dalam semua segi kehidupan, pragmatisme politik dan orientasi pada kekuasaan bukan pemerintahan telah memperburuk situasi.
Praktik demokrasi liberal ini jika terus dilestarikan maka bisa mendatangkan banyak ekses negatif. Perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara akan terjadi secara massif. Penyebaran hoax, fitnah, berita plintiran yang dilepaskan dari konteksnya hingga cara-cara keji yang tidak beradab akan ditempuh untuk memenangkan pertarungan politik. Oligarki politik dan kekuasaan, pemanfaatan media, serta kepentingan para cukong akan menjadi alat bagi kekuatan antidemokrasi untuk menancapkan kembali pengaruhnya di bumi nusantara. Ketika kekuatan-kekuatan antidemokrasi menampakkan potensi penuh mereka maka demokrasi, tradisi luhur bangsa, nilai-nilai agama akan menjadi hal yang usang. Karenanya, dituntut kesediaan bersama dari semua pihak untuk menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjuangan itu haruslah dimulai dari kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan berbangsa. Seperti halnya kemerdekaan, demokrasi dalam artian sebenarnya tidak akan datang begitu saja, ia harus dicapai dengan pengorbanan.
DEMONusaSyuraKRASI
Pendiri negara, Bung Hatta menegaskan demokrasi kita “haruslah suatu perkembangan daripada demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Barat apriori ditolak”. Nilai-nilai substansial budaya harus diadopsi, yaitu nilai: musyawarah, kekeluargaan, gotong royong, kesediaan untuk menempatkan kepentingan publik atas kepentingan individu dan golongan, menampilkan watak kosmopolitan tapi dengan diimbangi rasa keagamaan yang kuat, serta kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan kembali masyarakat (social engineering) yang berlingkup luas, tetapi diiringi dengan sikap rendah hati yang muncul dari kesadaran/kefahaman pada kemampuan dan kondisi masyarakatnya untuk eksis ditengah perubahan yang terjadi dengan cepat di era milenial.
Yang paling “Indonesia” diantara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau. Dalam adagium fiqih disebutkan “al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadidil al-ashlah”, yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa lalu, sambil mengambil hal yang baru yang lebih baik.
Ada kecenderungan baru dalam UUD 45 hasil amandemen yaitu untuk mengambil keputusan dengan serba melalui voting berdasarkan suara terbanyak. Hal ini dapat mengakibatkan liberalisasi politik yang jauh dari prinsip-prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat, dan lebih dekat ke demokrasi liberal ala Barat. Padahal sistem musyawarah lebih bersifat konstitusional, original, otentik dan berakar pada budaya bangsa. Sebuah study menyatakan: “lemahnya landasan sosial budaya demokrasi Indonesia” sebagai salah satu penyebab gagalnya demokrasi Indonesia pada 1950-an. Demokrasi yang akan hidup di Indonesia adalah demokrasi yang berakar pada budaya dan tradisi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia. Namun memang tidak mudah untuk menerjemahkan demokrasi asli ini ke dalam kebijakan-kebijakan yang lebih kongkrit dan praktis.
Ada beberapa prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi yang perlu terus dirawat dan dikembangkan:
- Prinsip-prinsip yang disepakati bersamaa.
Orang bisa terikat pada proses-proses yang demokratis hanya apabila mereka memiliki ikatan dasar yang sama dengan sebagian besar warga lainnya. Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 45 yang mengikat seluruh warga negara dalam ikatan NKRI. Wacana mainstream telah menyepakati bahwa hubungan antara negara dan agama telah selesai, bahwa Indonesia bukan negara sekuler juga bukan negara teokrasi.
- Stabilitas dan keamanan.
Gangguan stabilitas keamanan pada praktik demokrasi yang belum matang bisa menyebabkan suasana chaos. Demikian pula dengan kemiskinan dan praktik ketidakadilan.
- Penghayatan demokrasi sebagai way of life
Tantangan masa depan demokrasi di Indonesia adalah bagaimana mendorong proses-proses untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi agar terus berlangsung secara konsisten sehingga menjadi way of life (dipraktikkan secara nyata dalam kehidupan sehari hari)
Selanjutnya terdapat beberapa catatan penting yang patut direkomendasikan terkait pelaksanaan demokrasi di Indonesia:
- Kesadaran pada nilai universal modern: Hak asasi manusia, pluralisme, kesetaraan (egalitarianisme), keadilan hukum (justice) dll.
- Pelestarian dan penghayatan nilai-nilai tradisi nusantara.
- Pembentukan karakter melalui peningkatan kualitas pendidikan yang bisa sekaligus menanamkan penghayatan/spiritualitas keagamaan sehingga bisa melahirkan SDM-SDM yang jujur, amanah dan memiliki kompetensi timggi di bidangnya.
- Permufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang jujur dan sehat. Segala bentuk manipulasi, taktik-taktik yang penuh konspirasi merupakan permufakatan yang curang, cacat dan sakit merupakan bentuk nyata penghianatan pada demokrasi.
- Terpenuhinya kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan secara berkeadilan.
- Kesadaran akan pentingnya kerja sama antar warga masyarakat dan sikap saling mempercayai i’tikad baik masing masing, serta jalinan saling mendukung secara fungsional antar berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada. Negara perlu mendorong penguatan LSM dan Ormas agar bisa memiliki akses untuk memberikan kontrol dan masukan bagi legislatif.
- Partai politik harus berbenah. Mengedepankan perjuangan nilai moral dan bukan mengejar kekuasaan semata, sehingga bisa berperan dan berpartisipasi aktif dalam pendidikan politik dan demokrasi masyarakat.
- Media sebagai corong demokrasi harus netral agar bisa mengedukasi masyarakat. TVRI sebagai media rakyat yang dibiayai dari pajak harus dikelola secara profesional oleh komisi yang independen.
Pancasila menyebutkan: ”Kerakyatan (Demokrasi) yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan (Tradisi Nusantara) dalam Permusyawaratan Perwakilan (Konsep Syura). Sila ke-4 ini memberikan visi bahwa demokrasi yang akan diterapkan di Indonesia di dalamnya harus terkandung ciri khas bangsa yang memiliki akar tradisi dan spiritualitas beragama. Dalam artikel ini kondisi demokrasi yang seperti itu kita sebut dengan istilah DEMONusaSyuraKRASI. Dengan memperjuangkan terlaksananya DEMONusaSyuraKRASI di Indonesia maka kita akan bersama mewujudkan Baldatun thayibatun wa Rabbun Ghofur, tidak melalui pembentukan teokrasi surgawi (khilafah) di bumi tapi dengan mendirikan sebuah republik di bumi untuk dilestarikan hingga ke alam surgawi (akhirat).
Link terkait:
>> Syura dan Demokrasi >> Demokrasi-Permata Yang Hilang
Referensi:
- Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam
- Hajriyanto Y. Thohari, “Demosyurokrasi Pancasila:Jembatan Demokrasi dan Permusyawaratan”, dalam Tafsir Kontemporer:Negara Pancasila Sebagai Dar Al Ahdi Wa As Syahadah, Jurnal Maarif Vol.11, No.1-Juni 2016
- Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur Sang Guru Bangsa : Biografi Pemikiran Nur Cholis Majid
- Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran GusDur
- Sumber lain yang relevan