Di media sosial sering beredar postingan yang mewajibkan wanita menggunakan niqab/cadar dengan berbagai alasan. Wajah wanita yang terbuka dianggap jalan menuju perzinahan sehingga hukumnya haram ditampakkan, merupakan sumber kemaksiatan, disepakati sunnah oleh Imam 4 madzhab dll. Benarkah demikian..?
Sebagian netizen yang lain berkomentar, Islam mensyaratkan wanita yang sedang menjalankan shalat dan ibadah haji agar membuka wajahnya. Apakah hal seperti ini merupakan pembangkit nafsu birahi atau pembuka jalan bagi terjadinya kejahatan?. Rasulullah saw juga telah menyaksikan wajah-wajah wanita terbuka dalam berbagai pertemuan umum, di masjid dan di pasar. Namun tak pernah diberitakan bahwa beliau Saw memerintahkan agar wajah para wanita itu harus ditutup rapat.
Demikianlah sekelumit perdebatan yang mucul di medsos. Agar permasalahan ini menjadi lebih jelas, mari kita meneliti bersama Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
Kajian Al Qur’an dan Hadits Shohih
1. Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka… (An Nur : 30)
Seandainya semua wajah wanita di masa Nabi Saw tertutup, mengapa ayat di atas memerintahkan lelaki agar ‘menjaga pandangan’ mereka?. Adakalanya lelaki tertarik hatinya ketika memandang wajah seorang wanita, maka seharusnya ia tidak meneruskan hasratnya tersebut. Perintah menjaga pandangan mata dalam surat An Nur ini juga dipertegas dalam sebuah hadits:
“Wahai Ali!, janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), (halal) bagimu pandangan yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir ”. [ HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi]
Al Qadhy ‘Iyadh (w.1149) menuturkan pernyataan dari para ulama salaf, bahwa seorang wanita tidak wajib menutup wajahnya ketika ia berjalan di tempat umum. Sebaliknya menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki untuk menahan pandangan mereka, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.
2. Jabir bin Abdilah menyampaikan, setelah pelaksanaan shalat ‘Ied, Rasul Saw menuju tempat berkumpulnya (jamaah) wanita, lalu menasehati dan mengingatkan mereka: “Bersedekahlah, sebab banyak dari kalian adalah kayu bakar api neraka”. Mendengar itu, seorang perempuan yang wajahnya hitam dan kusam (karena terbakar sinar matahari) lalu bertanya: “Mengapa, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Karena kalian terlalu banyak mengeluh dan melupakan jasa dan kebaikan para suami”. Maka para wanita itu bersedekah dengan perhiasan. Mereka melemparkan anting dan cincin ke pakaian Bilal (yang berfungsi menampung sedekah itu). (HR. Bukhori, Muslim, an Nasai dll)
Hal yang perlu digaris bawahi adalah dari mana perawi hadits (Jabir) mengetahui bahwa perempuan yang bertanya itu berwajah hitam dan buruk? Tentu karena wajahnya tidak tertutup!. Dalam riwayat yang lain dikatakan oleh Jabir: “Aku menyaksikan wanita-wanita itu ketika tangan-tangan mereka melemparkan perhiasan ke arah kain yang dibawa oleh Bilal”. Dari sini bisa disimpulkan bahwa wajah perempuan dan tangannya tidak termasuk aurat yang harus ditutup.
3. Diriwayatkan dari Aisyah Ra, “telah menjadi kebiasaan sejumlah wanita muslimat untuk melangsungkan shalat subuh bersama Nabi saw (di masjid beliau). Mereka itu membungkus tubuhnya dengan kain murth (semacam mantel) dan pulang ke rumah-rumah mereka setelah selesai shalat dalam keremangan fajar yang membuat mereka tidak dapat dikenali”.(HR. Bukhori Muslim)
Ucapan Aisyah ini mengindikasikan bahwa seandainya bukan karena keremangan fajar, niscaya dapat dikenali wajah-wajah wanita muslimah yang tidak tertutup.
4. Dirawikan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw membonceng unta al Fadhl (adik Ibnu Abbas) pada hari Nahr (lebaran haji). Al Fadhl adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi saw pun lalu memberi fatwa pada khalayak. Seorang wanita dari suku Khats’am yang berseri (cantik), datang dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau saw. Al Fadhl (terus menerus) memandanginya dan kecantikan wanita itu menakjubkannya. Kemudian Nabi saw menoleh sedangkan al Fadhl masih melihat kepadanya (wanita itu), maka Nabi saw dengan tangan beliau memalingkan dagu al Fadhl ke arah lain, agar tidak memandang wanita itu… (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, an Nasai dll)
Peristiwa ini terjadi pada waktu Haji Wada’. Dari redaksi hadits, wajah wanita tersebut dalam kondisi terbuka sehingga tampak kecantikannya. Kelanjutan hadits di atas, terjadilah tanya jawab antara beliau Saw dengan wanita tersebut terkait permasalahan haji. Nabi Saw tidak mempermasalahkan hal ini, justru yang dilakukan oleh beliau adalah memalingkan wajah al Fadhl agar menjaga pandangan matanya dari wanita cantik itu.
Pendukung wajibnya cadar berdalih, larangan memakai cadar dan kaos tangan ketika sedang ihram menujukkan bahwa ketika di luar ihram haji maka hukumnya wajib. Argumen ini kurang tepat, sebab larangan dalam ihram itu adalah terhadap hal-hal yang dibolehkan di luar ihram, bukan pada hal yang diwajibkan. Contohnya di luar ihram lelaki boleh memakai pakaian berjahit, tetapi dalam kondisi ihram terlarang. Sedangkan pakaian yang menutup aurat wanita dalam kondisi ihram maupun tidak adalah sama, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
5. Subai’ah binti al Harits ditinggal mati suaminya dalam kondisi hamil. Setelah melahirkan ia merasa telah bebas dari masa ‘iddahnya, Ia lalu merias diri dan mempercantik wajahnya seraya bersiap menerima para pelamar. Seorang dari kalangan Sahabat bernama Abu as Sanabil mengunjunginya lalu berkata kepadanya: “Kulihat engkau berhias! Adakah engkau sudah ingin kawin lagi?, Demi Allah, engkau tak boleh kawin lagi sebelum lewat empat bulan sepuluh hari”. Berkata Subai’ah selanjutnya: “Ketika mendengar ucapannya itu, aku pun pergi mengunjungi Rasul saw, lalu aku tanyakan tentang hal itu kepadanya. Beliau saw menegaskan bahwa sesungguhnya aku telah bebas dari masa iddah setelah melahirkan kandunganku. Beliaupun mempersilahkan aku melangsungkan perkawinan apabila aku ingin”. (HR. Muslim)
Abu As Sanabil adalah lelaki asing (bukan mahram) tetapi dapat melihat make-up nya Subaiah. Ini menunjukkan bahwa lingkungan pada masa itu tidak berkeberatan apabila wanita membiarkan wajahnya terbuka di muka umum.
Pendukung wajibnya cadar berpendapat bahwa kebolehan menampakkan wajah telah di nasakh (dihapus) oleh ayat tentang Hijab. Tapi kesimpulan ini tidak akurat, sebab ayat Hijab turun di tahun ke-lima Hijriyah. Sedangkan peristiwa Subaiyah al Aslamiyah ini terjadi setelah haji wada’ (10 H), menjelang wafatnya Nabi Saw. Karena itu, dalam hal ini tidak ada kemungkinan terjadinya nasakh (penghapusan) ketentuan hukum.
Pendapat Ulama Madzhab
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya… (An Nur : 31)
- Abu Bakar Al Jashshash (w. 992), ulama dari madzhab Hanafi ketika menafsirkan ayat di atas berkomentar: “Yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan. Sebab celak, pacar dan cincin adalah perhiasan mata, kuku dan jari tangan. Jika dibolehkan memandang perhiasan wajah dan tangan, maka boleh pula memandang wajah dan kedua tangan yang menyandang perhiasan tersebut”. Madzhab Hanafi menambahkan pula kedua kaki (sampai pergelangan) boleh dibiarkan terbuka. Hal ini demi tidak menyulitkan wanita.
- Al Qurthubi (w. 1273), tokoh madzhab Maliki berkata: “Mengingat bahwa wajah dan tangan, menurut kebiasaan, senantiasa tampak dalam kegiatan sehari-hari ataupun dalam ibadah seperti shalat dan haji, maka pengecualian dalam ayat di atas (yakni yang boleh dilihat) adalah berkaitan dengan wajah dan tangan…”
- Al Khazin (w. 1363), mufassir dari madzhab Syafi’i ketika menafsirkan pengecualian dalam ayat An Nur di atas berkata: “menurut Said bin Jubair, Adh Dhahak dan al Auzaiy, yang dikecualikan adalah wajah dan kedua tangan”
- Ibnu Katsir (w. 1373), ulama panutan Salafi berkata: “..Dapatlah disimpulkan bahwa Ibnu Abbas dan para pengikutnya, menafsirkan kalimat ‘kecuali yang tampak darinya’, dalam ayat di atas dengan wajah dan kedua tangan. Dan seperti itu pula pendapat jumhur (mayoritas ulama)”.
- Ibnu Qudamah (w. 1223), tokoh rujukan madzhab Hambali: “Tubuh wanita seluruhnya aurat kecuali wajahnya. Adapun tentang kedua tangan, terdapat dua pendapat (yakni ada yang menganggapnya aurat dan ada yang tidak).
Sebagai keterangan penutup, Ibnu Jarir at Tabari (w. 923) dalam kitabnya at Tafsir al Kabir menyampaikan: ”Adapun pendapat yang paling dekat dengan kebenaran, berkaitan dengan perhiasan wanita yang boleh terlihat ialah yang ada di wajah dan kedua tangannya. Ini adalah pendapat yang terkuat karena telah menjadi kesepakatan (ijma’) bahwa setiap orang yang sedang shalat harus menutup auratnya. Dan bahwa wanita dibolehkan membuka wajah dan kedua tangannya (sampai pergelangan) di waktu shalat. Dan sesuatu yang tidak termasuk aurat, maka tidak haram menampakkannya.”
Referensi:
- Muhammad Al Ghazali, Studi Kritis atas Hadits Nabi Saw
- M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah