Pada abad 11 M, kaum muslim bekerja keras pada tiga proyek budaya yang besar: Ulama-Teolog yang menguraikan doktrin dan hukum Islam, Filsuf-Ilmuwan yang mengungkap pola dan prinsip alam semesta, dan Mistik-Sufi yang mengembangkan sebuah teknik mencapai kesatuan pribadi dengan Allah. Pada saat itulah, salah satu raksasa intelektual sejarah dunia lahir dari orangtua yang berbahasa Persia di Khorasan (Iran), namanya Abu Hamid Muhammad Al Ghazali (Al Gazel).
Pada awal usia 20-an, Ghazali telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu ulama terkemuka fiqih-hadits di zamannya. Pada masa hidupnya para ulama telah mengembangkan teologi yang mengedepankan wahyu daripada akal (madzhab Asy’ariyah) untuk bersaing dengan kaum rasional (muktazilah). Tetapi muktazilah tahu trik orang Yunani untuk memenangkan argumen dalam perdebatan, seperti logika dan retorika, sehingga membuat kaum Asy’ariyah tampak kewalahan. Saat itulah Ghazali datang untuk menyelamatkan mereka.
Dia lantas terjun ke dalam studi yang mendalam tentang filsafat islam karya filosof besar muslim, Al Farabi dan Avicenna. Dia menguasai logika dan menghirup risalah-risalah filsafat Yunani. Hasilnya adalah sebuah buku yang menjelaskan tentang filsafat Yunani (Aristoteles) yang berjudul “Maksud Para Filsuf” (Maqashid al-Falasifah). Uraiannya tentang Filsafat Aristoteles begitu jernih dan sangat ilmiah. Buku Ghazali sampai ke Andalusia Spanyol lalu masuk ke Eropa (Kristen), di sana buku itu memukau orang-orang yang membacanya dan memberikan pengaruh pada pemikir-pemikir Yahudi dan Kristen ternama, seperti St. Thomas Aquinas, Ramon Lull, Blaise Pascal, dan Maimonides
Ghazali menulis sekuel selanjutnya, “Ketidaklogisan Para Filsuf (Tahafut al Falasifah) pada saat usianya menginjak 36 tahun. Disini ia mengidentifikasi 20 premis yang menjadi sandaran filsafat Yunani dan Greko-Islam, kemudian menggunakan logika silogisme untuk membongkar masing-masingnya. Beberapa filsuf muslim memukul balik, Ibnu Rusyd (Averroes) menulis balasan untuk Ghazali berjudul “Ketidaklogisan dari ketidaklogisan” (Tahafut at Tahafut). Tetapi di dunia Islam saat itu, filsafat Islam berbasis Yunani sudah mulai meredup dan minat kaum muslim dalam ilmu pengetahuanpun mulai karam, dan Ghazali akhirnya tampil sebagai pemenang.
Ghazali meraih penghargaan luar biasa atas karya-karyanya. Ia diangkat menjadi rektor universitas Nizamiyah yang prestisius di Baghdad. Akan tetapi di tengah semua status dan pujian itu, dia merasa tidak memiliki harta yang sesungguhnya. Dia percaya pada wahyu, menghormati Nabi dan Kitab suci, setia kepada syariah, tetapi dia tidak merasakan kehadiran Allah secara jelas. Ghazali tiba-tiba mengalami krisis spiritual, mengundurkan diri dari semua jabatannya, membagi-bagikan semua harta miliknya, meninggalkan semua teman-temannya dan pergi mengasingkan diri (uzlah).
Ketika keluar dari uzlah, dia menyatakan bahwa para ulama itu benar, tetapi para sufi lebih benar lagi. Hukum adalah hukum dan anda harus mengikutinya, tetapi anda tidak bisa mencapai Allah dengan mempelajari kitab dan beramal baik semata. Anda perlu membuka hati dan hanya para sufi yang tahu cara membuka hati. Ghazali lalu menulis dua buku penting lagi: Kimia Kebahagiaan (Kimiyyat al-saadah) dan kebangkitan Ilmu Agama (Ihya’ Ulumuddin). Dalam buku ini, dia menempa perpaduan antara syariat dan tasawuf dengan menjelaskan bagaimana syariat cocok dengan thariqat, metode sufi untuk menyatu dengan Allah.