Yaman selalu menjadi tempat perebutan pengaruh antara dua super power masa lalu, yaitu Romawi (Byzantium) dan Persia. Yahudi dan kaum pagan mendukung Persia, sedangkan Nasrani mendukung Byzantium. Ketika itu (520 M),Yaman dikuasai oleh dinasti Himyar. Dzu Nuwas, raja Himyar yang beragama Yahudi dan pro Persia berupaya menyatukan Arabia selatan di bawah otoritasnya. Raja muda itu mengintimidasi penganut Kristen di Yaman. Tahun 523 M, Ia menyerang Najran dan membakar hidup-hidup penganut Kristen di parit-parit pembakaran. Peristiwa tragis dan tindakan kejam pada orang beriman ini dikecam oleh Al Qur’an dalam surat Al Buruj:
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ ۞ النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ
Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit (4), Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, (5)
Mendengar tindakan brutal itu, penguasa Byzantium (Justin I) lalu memerintahkan sekutunya Negus di Habasyah (Ethiopia) agar memberikan perlindungan pada umat Nasrani di Yaman. Negus lalu mengirimkan 70 ribu pasukan di bawah pimpinan Jendral Aryath dan memukul Dzu Nuwas di tahun 525 M. Kemenangan tersebut mengantarkan Aryath menjadi penguasa di Yaman.
Ternyata kehadiran tentara Habasyah memiliki motif politik terselubung yaitu untuk menguasai Yaman. Aryath dan tentaranya melakukan tindak sewenang-wenang di sana. Setelah berkuasa selama dua tahun, melalui sebuah konspirasi, Aryath dibunuh oleh salah satu komandannya yang bernama Abrahah. Selanjutnya, Ia dan keturunannya menjadi gubernur di salah satu provinsi Habasyah di Arabia Selatan itu.
Untuk melunakkan hati raja Habasyah yang marah karena pembunuhan Aryath, Abrahah bin Asyram al Habsyi menjanjikan kepada Negus untuk membangun Katedral terbesar dan teragung di Sana’a dengan nama Al Qullays (Ekklesia). Katedral itu dibuat dari barang-barang mewah; marmer dan granit peninggalan istana Ratu Sheba, salib-salib dari emas dan perak serta mimbar dari gading dan kayu hitam. Melalui gereja yang megah itu ia bermaksud menjadikan Sana’a sebagai pusat spiritualitas dan objek wisata rohani di Arabia. Ia berharap bisa menggantikan kebiasaan orang Arab yang melakukan haji di wilayah Hijaz (Ka’bah) agar berpindah ke Yaman.
Abrahah juga menjanjikan pada Negus untuk mengkristenkan Arabia serta mengamankan posisi politik Byzantium di Yaman dan Hijaz dari ancaman Persia. Untuk itu ia memiliki maksud memperkokoh kekuasaannya dengan memperluas cengkeraman politik-ekonominya ke wilayah jalur Hijaz (Yaman menuju Syam). Apalagi kondisi ekonomi Yaman saat itu tengah terpuruk akibat jebolnya bendungan besar Ma’rib yang disebabkan oleh banjir besar yang terjadi sekitar tahun 542 – 543 M.
Rencana ekspansi ke Hijaz menemukan momentumnya, ketika Abrahah punya alasan untuk menghancurkan Ka’bah sebagai pembalasan atas penghinaan yang dilakukan oleh tokoh Kinanah di gereja Al Qullays. Seorang anggota suku Bani Malik bin Kinanah sengaja membuang kotoran di kompleks gereja di hari puncak perayaan ritual. Tindakan pelecehan dari orang Arab ini membuat murka Abrahah.
Tujuan untuk menghancurkan Ka’bah sebagai balas dendam atas pelecehan Al Qulays sebenarnya hanya bagian dari strategi politik Abrahah. Dia punya tujuan tersembunyi dibalik aksi militer tersebut. Motif politik dan ekonomi dibalik pengiriman ekspedisi militer di bawah pimpinan langsung Abrahah yang mengendarai seekor gajah besar ini disebut dalam surah Al Fil sebagai ‘tipu daya’:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ ۞ أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah bertindak terhadap tentara bergajah? (1) Bukankah dia Telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? (2)
Setelah menaklukkan Thaif, Abrahah mendirikan perkemahan di Maghmis yang berjarak 3,65 km dari Makkah. Tetapi rencananya menghancurkan Ka’bah ini ternyata gagal total. Beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan tersebut adalah:
- Abrahah tidak begitu memahami kondisi geografis Hijaz khususnya Makkah, sehingga kehilangan selera ketika melihat tanah Makkah yang tandus dan kering serta jalur menuju Makkah yang demikian sulit.
- Terjadi perpecahan dalam tubuh Pasukan Abrahah yang terdiri dari campuran orang Habsyi dan Arab. Orang-orang Arab tentunya menentang penghancuran Ka’bah dan berupaya keras untuk menolak rencana tersebut secara nyata maupun terselubung.
- Posisi Abrahah di pusat pemerintahannya di Yaman tidak terlalu kuat, ia menghadapi ancaman internal baik dari warga Arab Yaman yang tertindas yang siap berontak maupun dari kalangan Habsyi (pendukung Aryath) yang menjadi oposan.
- Pertolongan Allah lewat burung Ababil yang memenuhi langit, melontarkan batu-batu kecil sehingga menyebarkan kuman yang mematikan.
Akumulasi hal-hal di atas berdampak menggentarkan dan mengacaukan pasukan koalisi Abrahah, membuat mereka kocar-kacir dan sisanya yang selamat, termasuk Abrahah, pulang kembali ke Yaman tanpa membawa hasil. Banyak tentara yang mati di lokasi dan sepanjang perjalanan pulang ke Yaman. Abrahah sendiri yang juga terinveksi kuman penyakit akhirnya meninggal beberapa saat sesampainya di Istana. Allah berfirman:
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).(Al Fil : 5)
Penghancuran tentara gajah yang akan merobohkan Ka’bah terjadi sekitar tahun 547 M. Dua puluh tiga tahun setelah peristiwa serangan tentara Abrahah ini, lahir di Makkah seorang bayi yang kelak akan menjadi manusia termulia di dunia, yaitu Nabi Muhammad saw. Peristiwa tentara bergajah ini demikian besar pengaruhnya dan menjadi pergunjingan masyarakat Arabia khususnya di wilayah Hijaz dan sekitarnya. Sehingga kelahiran nabi Muhammad saw pada 570 M dinisbahkan pada tahun gajah ini.
Kekuasaan berlangsung silih berganti di Yaman setelah wafatnya Abrahah. Setelah dua keturunannya yaitu Yaksum dan Masru’ berkuasa, Saif Al Himyari yang didukung Hirah dan Persia berhasil merebut Yaman dari Habasyah pada tahun 575 M. Akan tetapi selanjutnya Persia mengambil alih penguasaan atas Yaman dan menjajahnya selama 50 tahun. Pada 628 M, tahun ke-6 setelah Nabi saw hijrah ke Madinah, gubernur Persia ke-5 di Yaman yang bernama Badhan menerima risalah agama Islam. Mulai saat itu perputaran politik yang semula berkiblat pada Romawi dan Persia selanjutnya beralih ke Utara yaitu Hijaz di bawah panji Rasulullah saw dan para khalifah penerusnya.
Referensi:
- M. Quraish Shihab, 2011, Membaca Siroh Nabi Muhammad saw Dalam sorotan Al Qur’an dan Hadits Shahih, Penerbit Lentera Hati, Tangerang
- Muhammad Husain Haikal, 1965, Sejarah Hidup Muhammad, cetakan ke-40 (2011), Pustaka Literea Antar Nusa, Jakarta
- Philip K. Hitti, 1937, History of the Arabs, edisi revisi ke-10 (2002), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta